Sunday, June 20, 2021

Apa Rasanya Melewati Usia 30 Tahun?

Memasuki bulan Juni itu artinya umur gue bertambah --atau berkurang satu tahun. Tahun ini genap berusia 33 tahun. Jika rata-rata usia manusia --berdasarkan angka harapan hidup masyarakat Indonesia dan usia umat Rasulullah adalah 60-an tahun, maka gue sudah menghabiskan separuh lebih jatah hidup.

Ilustrasi dokumen pribadi

Apakah ini adalah usia-usia mendekati kematian? Hahaha.

Inget, ya! Syarat kematian bukan yang berusia tua. Tapi, yang hidup. Karena lawan kata dari 'tua' adalah 'muda' bukan 'mati'. Begitu juga dengan sakit. Orang mati bukan karena ia sakit, tapi karena ia hidup. Sakit berantonim dengan 'sembuh' bukan mati. Namun, menua sama halnya dengan sakit, hanyalah salah satu cara menuju kematian. Gue bilang cara, bukan syarat. Syarat mati, ya, hidup. 

Kematian melahap setiap individu yang hidup, baik yang tua, yang muda, yang sehat, apalagi yang sakit, yang kaya, yang miskin, yang makan buburnya diaduk, yang motornya Supra atau Nmax, yang helmnya SNI atau bukan, semua bakal mati. Yang suka ngelakson pas di lampu merah juga bakal mati --etdah orang gak sabaran banget, lampu ijonya juga baru nyala udah ngelaksonin mulu. 
Pernah gak, sih, kayak random gitu tiba-tiba ngitungin saudara, tetangga, atau teman seangkatan yang sudah meninggal siapa aja? Sampe mikir, ya ampun hidup cuma sebentar, ya, ternyata.

***
Jika usia 25-an tahun disebut quarter life crisis --memasuki gerbang usia dewasa, maka usia kepala tiga atau lebih menurut gue adalah usia-usia yang sedang bergesekan dengan usia tua. Puncaknya adalah ketika sudah di angka 50-an tahun --kalau boleh meminjam kata-katanya Beauvoir --head to head bertabrakan dengan usia tua.

Pertanyaannya adalah; Apakah ada yang rela dan penuh suka cita ketika disebut tua? Atau mengakui dirinya tua? Hahaha. Gue dari tadi bilang tua-tua, kalo ngomong di depan orang pasti langsung digampar. Wkwkwk. Gak usah jauh-jauh, emak gue contohnya. Beliau paling anti pake kerudung yang langsung --apa ya namanya-- karena menurutnya dia akan terlihat tua. Padahal emang tua, kan, enam puluh tahun. Bapak gue almarhum, semasa hidup gak mau mengenakan baju koko karena menurutnya koko itu cocoknya dikenakan oleh orang yang sudah tua. Padahal almarhum usianya 70 tahun. Termasuk orang-orang di sekitar kita kayaknya gak ada yang mau disebut 'tua'.

Tua itu mengerikan. Peran-peran dan rencana-rencana kita akan digantikan oleh para orang muda. Kita seolah tergulung oleh gelombang arus manusia yang lebih muda. Bahkan salah seorang filsuf dari Perancis pernah mengatakan bahwa menua lebih menakutkan daripada kematian. Kematian merupakan "ketiadaan absolut", sehingga bisa terasa nyaman. Sedangkan menua adalah "parodi kehidupan". Kita mungkin terlihat tua, berperilaku tua, dan menurut takaran objektif lainnya, memang sudah tua, tapi tidak pernah merasa tua. 

Sebuah pemikiran yang berusia lebih dari satu abad ini masih relevan dan relate dengan kehidupan sekarang, dengan kondisi psikologis manusia-manusia masa kini yang selalu nyaman bersembunyi di balik kata-kata penyangkalan 'gue belum tua, kok'. Tapi, ya, setidaknya penyangkalan-penyangkalan itulah yang menjadi alasan mereka tetap bersemangat menjalani hidup dengan tetap enggan merasa tua. 

Di belahan dunia mana pun tidak ada yang namanya budaya menua, yang ada adalah budaya terlihat awet muda. Lagi-lagi sebuah penyangkalan. Bahkan gue sendiri pun sebenarnya belum siap dipanggil dengan sapaan 'Ibu' kalau di luar lingkungan pekerjaan. Kalau kasus yang ini bukan karena gue gak merasa tua tapi lebih karena gue belum beranak-pinak jadi agak gak terima aja gitu. Hahaha. Namun, usia gue emang usia-usia rentan dipanggil dengan sapaan 'Ibu' dan 'Tante', sih, jadi it's okay.

Sekali lagi, mengakui bahwa kita mulai menua itu sulit karena ketakutan akan perubahan fisik sangat bising mendominasi isi kepala kita --meskipun kemerdekaan batin dengan menua dan penguatan identitas semakin kental. Kebisingannya sebanding dengan usaha-usaha kita agar terlihat awet muda. 

Gue yang dulunya bangga dengan hanya memakai bedak bayi, sekarang merasa kerepotan karena garis di pojok dan bawah mata yang awalnya hanya satu, berkembangbiak menjadi jembatan-jembatan halus seolah mempertegas jumlah usia gue. *ngetiknya sambil nahan tangis. Dan, ya, apa yang terjadi? Tiga tahun belakangan saya mulai rutin memakai skincare. Entahlah, ini berguna atau tidak, tapi setidaknya gue ada usaha. Usaha berdamai dengan proses menua.

Kemarin liat unggahannya Marshanda, dia berdamai dengan perubahan fisik yang termakan usia. Gue sama Marshanda, kan, seumuran, cuma beda sekolaan doang. 

***
Awal usia 20-an adalah masa di mana semua orang merasa takut gagal dan tidak diterima. Kehidupan serba kompetitif, emosi masih labil, kebanyakan insecure, menggantungkan kebahagiaan pada orang lain, takut jika kelihatan tidak sibuk. Percaya atau enggak, di usia 30-an untuk gue pribadi, hidup kalo udah ketemu ritmenya, yaudah, mau ngeribetin apa lagi? Gak ada yang perlu diribetin. Untuk urusan finansial, selagi cukup itu bagus. Urusan percintaan, karena gak mendewakan pernikahan, ya, biarkan mengalir saja. Untuk urusan insekyar-insekyur dengan pencapaian-pencapaian lenyap oleh waktu. Yang dicari dalam hidup ini hanya satu, merasa cukup. Inget kayak tagline-nya Wardah --kalo gak salah 'Baik itu cukup, cukup itu baik.

***

Usia tua hanyalah sebuah rangkaian, semua orang akan menjalaninya. Kecuali yang mati muda, ya. Makanya bersyukur yang bertemu dengan kata 'tua', jangan suka ngatain lo. Gak semua orang nyampe tua soalnya. Jangan ngomong sembarangan tua-tua aja lo. Wkwkwk apa, sih.

Tiap tahun doanya selalu ingin panjang umur, ingin hidup sampai tua. Giliran bertabrakan dengan usia tua malah mengeluh. Hahaha.

Sebagai penutup, kalo bisa, kenapa gak kita bikin aja peradaban baru dengan mengibarkan bendera bahwa menua gak buruk-buruk amat seperti kata Cicero --filsuf Romawi, "Tidak ada kepuasan  lebih besar dalam hidup daripada usia tua yang santai, tercurah hanya bagi pengetahuan dan pelajaran."



***

Tuesday, June 8, 2021

Emang Kalau Ditinggal Mati Harus Nangis?

Tadi banget gak sengaja liat headline berita dengan judul --seperti biasa-- memancing amarah netizen, Ria Ricis Gak Kelihatan Nangis Waktu Ayahnya Meninggal.

Karena relate sama yang pernah gue alami jadi gue pengen ikut berkomentar sekalian cerita. Termasuk emak gue yang kena cibiran karena gak nangis meraung-raung saat bokap meninggal.

Sekarang pertanyaannya, emang kalo bapak/ibu kita meninggal, anak-anaknya harus nangis? Istri/suaminya harus meraung-raung?
Jawaban gue, sih, udah jelas: NGGAK.

Kok, nggak?

Ya, jangankan nangis, untuk ngerasain sedih sampai beberapa hari ke depan aja gak ada waktu. Yang pernah ngalamin ditinggal mati orang tua pasti merasakan hal yang sama.

Gue pun kaget, ini pengalaman pertama ditinggal mati salah satu dari orang tua kami. Gue pikir, kami (anak dan istri almarhum) akan nangis meraung-raung jika ditinggal mati seorang sosok kepala keluarga, ternyata nggak. Gue sedih dengan fakta ini.

Tapi, begitulah kenyataannya. Sejak hari pertama sampai ketujuh beliau meninggal, kami --terutama gue-- gak sempat untuk nangis. Kenapa? KARENA SIBUK BANGET NGURUSIN PROSESI INI-ITU MULAI DARI A SAMPAI Z. Mikirin dari hal-hal yang kecil sampai besar. Semisal mikirin untuk pengadaan kain kafan, manggil dan nyari orang yang biasa mandiin dan mengkafani jenazah, koordinasi dengan pemuda dan ketua RT untuk menyalati jenazah, penguburan, menyiapkan kursi-kursi untuk pelayat, pasang terpal supaya gak kepanasan, dan lain-lain. Masih banyak hal-hal kecil yang perlu dipikirin saat kematian, kalo gue sebutin satu per satu gak akan selesai sampe ba'da Isya. Dan masalah terbesarnya adalah masalah biaya. Kalo ngomongin biaya agak tabu, ya, karena nanti dikira gak ikhlas, dikira perhitungan. Ya, namanya juga hidup, selalu sepaket dengan cibirannya. Hehe.

Jadi, setiap gue mau nangis di pojokan, selalu aja ada gangguan semacem;
"Wida, palu taro di mana? Mau pasang terpal,"
"Wida ambilin karung, ini yang ngelayat beras bingung mau diwadahin ke mana,"
"Wida, baskom buat amplop belum ada,"
"Wida, aqua gelasnya sisa satu dus, beli lagi aja."
Baru mau duduk sebentar,
"Wida, beli kacang sama snack buat jamuan."
Ya Allah, gue lagi berduka akhirnya pergi ke pasar beli kacang, kuping gajah, bala-bala, rokok, aqua gelas, kopi, amplop, tali rapia, rapi ahmad, kembang kuburan, dll."

Pas mau duduk sebentar,
"Wida, ada tamu dari sekolah,"
"Wida, ada tamu keluarga dari Cilegon,"
"Wida, ada tamu temen SMP,"
"Wida, ada tamu temen fesbuk." HALAH.

Pas mau duduk sebentar,
"Cari tukang masak buat tahlil nanti malem sekalian sama buat masak niga dan nujuh hari (hari ke-3 dan ke-7). Nanti buat belanja bahan-bahannya belanja aja ke Pasar Rawu."

Ya Allah, walopun gue hidup di kampung, bisa gak, sih, budaya masak-masaknya dihilangin aja, capek demi apapun. Gue lagi berduka, lagi sedih, kenapa disuruh pergi ke pasar lalu harus masak-masak di rumah, heboh amat. Bapak gue meninggal, gue cuma pengen duduk sendiri sambil nangis, itu aja. Gak bisa. Gue sibuk, kakak gue sibuk, Raffi Ahmad sibuk, semua sibuk. Ria Ricis juga.

"Gak usah, pesen catering aja," pun rupanya bukan solusi mengurangi kesibukan selama tujuh hari. Kebayang, kan, gimana makin repotnya kalo sampe ngadain masak-masak sendiri di rumah.

Jadi intinya, gue dan mungkin kalian yang pernah ditinggal mati oleh orang tua saat usia dewasa gak akan kelihatan nangis di hari pertama sampai ketujuh. Karena bukan tangisan yang dibutuhin, tapi tenaga. Perasaan hancur, kehilangan, rasa sedih, seolah lenyap digantikan dengan yang namanya kesibukan.


Di saat tengah malam, rumah udah mulai sepi dari para tamu tahlilan, di situlah momennya gue nangis, banjir air mata. Bukan pas rame orang gue nangis, gak gitu. Makanya yang orang tau kita gak nangis, ya, karena seperti itu. Seperti apa? Seperti Ria Ricis. Halah.

Besok paginya kembali sibuk menyiapkan untuk tahlilan nanti malam selama tujuh hari. Ya, gue gak nangis. GUE KE PASAR. Beli kacang, kuping gajah, bala-bala, rokok, aqua gelas, kopi, amplop, tali rapia, rapi ahmad, kembang kuburan, dll. Halah. Pokoknya ketemu rapi ahmad selama tujuh hari. Wkwkwk. Canda rapi.

Nih, ya, saking capeknya dengan acara-acara seremonial kematian, gue sampe kesel sendiri dan dalam hati sampe bilang, "Kenapa bukan gue aja yang mati kalo begini capeknya. Gak tidur, gak istirahat selama seminggu, tenaga terkuras. Capeknya melebihi acara hajat pernikahan. Malah kalo pernikahan cuma sehari, lah, ini tujuh hari."
Astagfirullah. Mon maap, itu pikiran-pikiran kacau saya kala itu, semoga maklum, namanya juga manusia, kadang bersyukur kadang mengeluh, kadang capek kadang nggak, kadang cantik kadang cantik banget.

Akhirnya, saya dan Ria Ricis mengucapkan terima kasih sudah mendengar suara hati seorang anak yang "tidak menangis" ditinggal bapaknya.