Kurang-lebih dua tahun yang lalu gue pernah nge-tweet gini:
Monday, September 27, 2021
Akhirnya Nemu yang Cocok - Review Skincare
Jarum Pentul dan Hal-Hal Kecil yang Membanggakan
Kayak random aja, sih, gue tiba-tiba pengen ngeluarin unek-unek ini, astaga. Kenapa cewek-cewek sering banget beli jarum pentul sesering kayak lo bayar iuran BPJS. Hampir tiap bulan.
Pernah ada temen dan dia bilang, "Gue beli jarum pentul belum ada sebulan udah habis aja." Ini asli gue bingung ngeresponsnya, yang gue pikirin itu jarum pentul dipake buat kerudungan apa dijadiin lauk dimakan sama nasi, sih? Dan itu tuh kayaknya bukan cuma temen gue doang yang begitu.
Ya, aneh aja soalnya seumur-umur gue cuma pernah sekali beli jarum pentul dan itu tuh kayak udah 3 tahun yang lalu. Selama itu gue cuma baru pake 2 biji. Itu pun karena diminta sama temen. Aslinya gue baru ngabisin satu dan masih gue pake, masih mulus. Yang ada gue malah bingung gimana caranya ngabisin jarum pentul se-box ini? Apa gue bikin giveaway aja? Caranya DM ke Instagram yang mau dapetin jarum pentul 5 biji, nanti gue kirim, free ongkir khusus pulau Jawa. Wkwkwk kek yang gabut banget gue.
Semacam prestasi yang bisa gue banggain, sih, jatohnya. Kayak yang gue jagain barang sekecil ini aja bisa apalagi jagain Malika, kedelai hitam yang saya besarkan sepenuh hati seperti anak sendiri.
Ngomong-ngomong soal prestasi, kayaknya gue punya segudang prestasi selain rekor pakai jarum pentul terlama, yaitu bisa masak nasi pake perasaan. Kebanyakan orang masak nasi nuangin airnya pake takaran atau ngukur pake ruas jari, kalo gue enggak, ya, pake feeling aja gitu. Tapi, asli hasilnya beneran bagus, gak lembek dan gak keras.
Buka tutup galon pake pulpen juga gue bisa, dan demi apa gue bangga banget. Kalo disebutin satu per satu prestasi gue dalam hal-hal kecil kayaknya banyak banget, deh.
Coba bayangin, gue tuh gak pernah banget nonton tv dengan sengaja, cuma sepintas-pintas gitu tapi sampe bisa hafal mars Perindo. Itu tuh rasanya kayak gue pengen standing applause buat diri sendiri. Hahaha.
Emang ya gak ada alasan untuk pesimistis sama hidup. Banyak hal-hal kecil yang bisa kita banggain ketimbang terus mengeluh terhadap mimpi besar yang gak pernah tersentuh. Menerima apa pun keadaan dan keberadaan kita dengan rasa tenang dan bangga adalah contoh ideal kehidupan. Uhuk.
Saturday, September 4, 2021
Siswa Kelas 6 Belum Bisa Membaca, Salah Siapa?
Ceritanya di WhatsApp gue posting video lagi ngajarin anak kelas 6 belajar membaca. Dari awal sebenernya gue ragu mau di-posting atau nggak, ya? karena taruhannya adalah nama baik sekolah dan guru-guru tentunya. Perang batin gitu karena orang-orang pasti mikirnya langsung menyudutkan satu pihak. Hahaha. Tapi, persetan lah nama baik, tujuan gue posting biar mata kita semua terbuka terhadap kondisi dunia pendidikan di Indonesia, khususnya untuk kelas ekonomi menengah ke bawah. Masalah anak yang belum bisa baca ini bukan hal yang tabu buat gue. Hampir setiap tahun selalu kedapatan anak yang belum dan bahkan gak bisa baca meski sudah naik ke kelas enam. Bahkan nanti sampai ke SMP selalu ada desas-desus yang nyampe ke kuping gue kalo si A belum bisa baca, ditanya oleh guru SMP-nya alumni SD mana, siapa guru kelas 6-nya? LAH GUE.
Sama sekali gue gak merasa terpojok, kok, santai. Karena apa yang orang-orang pikirkan (kadang) tidak seperti realita di lapangan. Gue juga pertama kali ngajar tahun 2009 kaget ketika tau ada anak kelas tinggi yang belum bisa baca. Tapi, lama kelamaan melihat fakta di lapangan ya, jadi paham. Permasalahannya sangat kompleks, gak bisa hanya menyalahkan satu pihak, entah guru, orang tua, atau siswanya.
Dan poin-poin itu semua sangat relate dengan kasus yang sedang gue bahas ini. Kondisi di lapangan memang seperti itu. Pola asuh orang tua kebanyakan (dalam hal ini di kampung tempat gue mengajar) adalah leave alone (membiarkan), orang tua tidak turut campur terhadap keinginan belajar anak, tidak pernah memberikan arahan, semua keputusan diserahkan pada anak, masa bodoh, tanpa pantauan, tanpa interaksi yang dekat antara anak dan orang tua. Kalo kata bahasa Jawa Serangnya 'nyeclekaken anak doang ning sekolahan kuh' semuanya diserahkan ke guru, baik mendidik maupun mengajar. Nah, ini yang salah persepsinya. Cuma, ya, balik lagi, pola asuh keluarga di rumah pun refleksi dari kondisi ekonomi dan pendidikan orang tuanya. Faktor ekonomi itu wujud investasi dalam pendidikan. Sekecil apapun pengorbanan untuk kepentingan pendidikan tidak lepas dari unsur pembiayaan. Siklus ini tidak ada ujungnya. Muter-muter bae wis, garan ya mekonon. Wkwkwk.
Biar imbang, faktor budaya yang salah satunya meliputi budaya belajar di sekolah pun harus dibahas, ya. Dalam hal ini guru yang mengajar. Gue gak boleh salah ngomong, nih. Uhuk.
Hmm ...
Jadi gini ...
Hmm ...
Para bunda dan mamah muda yang punya putri dan putra, dalam kapasitasnya untuk memahami kesulitan belajar siswa (terutama poin pertama dan kedua), perlu diketahui bahwa peran guru adalah mengidentifikasi, memecahkan masalah, dan merekomendasikan hasil diagnosis terbatas kepada guru BP, psikolog, psikiater, atau fisioterapis jika perlu. Jika perlu, loh, Bun. Poin pertama dan kedua ya khususnya, yakni siswa yang mengalami learning disfunction dan slow learner. Kenapa gak gurunya aja kalau ada siswa yang berkebutuhan khusus? Gini, loh, Bun, guru itu gak hanya pegang satu siswa dalam satu kelas, kalau kita hanya fokus pada siswa-siswa slow learner, apa kabar dengan siswa yang lain?
Tapi, ah, banyak tapinya. Wkwkwk. Namanya sekolah di kampung, ya kali ada siswa yang mau silaturahmi ke fisioterapis, jauh panggang dari api. Huhu.
Intinya siswa-siswa yang kasusnya seperti di postingan gue itu butuh penanganan khusus, diajar oleh guru khusus yang mempunyai kemampuan mengajar inklusif, di luar guru kelas sekolah reguler. Terlebih jika anak tersebut misalnya terdiagnosa mengalami sindrom kekacauan belajar (disleksia, disgrafia, dan diskalkulia) baiknya disekolahkan di sekolah inklusi atau sekolah luar biasa. Jika dipaksakan belajar di sekolah umum output-nya gak akan maksimal. Akibatnya, ya, seperti yang kita lihat, mereka tertinggal jauh dengan teman-teman sekelasnya yang lain.
Menjawab pertanyaan, "Kok bisa naik kelas, kan, gak bisa baca?" Guru itu selalu berdiri di ruang tengah bernama dilema. Kanan-kiri terbentur antara hati nurani dan aturan pemerintah. Semoga bisa menyimpulkan sendiri maksudnya apa. Rrrrrrr...