Friday, July 9, 2021

Belajar Mati untuk Hidup

Sejak kematian bapak, gue merasa banyak banget pelajaran yang gue ambil. Kadang terlintas seperti ini, "Untung bapak gue mati." Bukan dalam konotasi yang negatif, tapi sebaliknya. Kematiaannya sangat baik karena bisa mengubah hidup gue, cara pandang gue terhadap kehidupan, materi,  masa depan, kebahagiaan, cinta, kecemasan, penderitaan, dsb. Menurut gue, bapak meninggal di waktu dan tempat yang tepat. Beliau meninggalkan kami di saat --terutama gue sudah berusia matang. Akan lain ceritanya jika beliau meninggal di saat usia gue masih kanak-kanak. Mungkin perspektif gue akan lain lagi. Makanya gue selalu bilang bersyukur. Toh, kematian itu bukan suatu kemalangan, tapi keniscayaan. 

Kenapa dalam agama kita dianjurkan untuk selalu mengingat kematian? Percaya atau nggak, ya, sejauh ini yang gue rasain hidup jauh lebih damai saat mengingat kematian. Jauh dari hiruk-pikuk kecemasan duniawi. Karena sebetulnya urusan manusia tidak terlalu berharga untuk diperhatikan dengan serius. Tulisan ini sebagai pengingat kecil kalau nanti gue lupa dan agak melenceng dari tujuan awal gue cara memandang hidup.


Kematian memang tidak bisa dipraktikkan, tapi bisa dipelajari dan menurut gue itu penting. Mengutip kata Seneca, "Barang siapa tidak memahami cara mati yang baik, dia akan menjalani hidupnya dengan buruk." Kematian hanya datang satu kali dan tanpa peringatan. Detik, menit, bulan, tahun bergulir semakin membuktikan bahwa kita hanya terlihat sebagai debu yang beterbangan di pojok jagat raya, bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Kelahiran menggantikan ketiadaan, tumbuh menggantikan yang terpendam, hari ini meneruskan kehidupan dua ribu tahun silam, saat ini melahirkan masa ratusan tahun ke depan.

Contoh kematian sudah banyak di depan mata, teman sekolah, saudara, rekan kerja, keluarga, dan orang-orang di belahan dunia mana pun yang sering kita saksikan di pemberitaan. Hanya akan sia-sia contoh-contoh kematian tersebut jika hanya menimbulkan keheranan sesaat tanpa pernah direnungkan.

Urusan manusia sangatlah pendek. Lu mati, selesai. Cucian yang lagi dijemur dan belum sempat lu angkat sudah bukan menjadi urusan lu lagi ketika lu mati. Paketan Shopee yang belum sampe bukan urusan lu lagi. Staples yang lu cari dan gak pernah ketemu sampe lu mati, bukan urusan lu lagi. Laporan-laporan yang sudah deadline, pekerjaan yang minta diselesaikan, helm yang ilang di parkiran motor beberapa hari sebelumnya dan masih bersedih, sudah bukan urusan lu lagi. Bayangan bahagia menikmati hari tua dengan setumpuk uang pensiun gak pernah terwujud saat lu mati muda. 

Gue ingin mati tanpa penyesalan dan kesedihan, karena menurut gue kematian yang baik adalah yang tak pernah membenci kehidupan. Manusia terlalu pandai mereka-reka alasan untuk sengsara, padahal kebahagiaan ada di depan mata. Prinsip gue sekarang --karena hidup cuma sebentar, ketenangan jiwa, kebahagiaan terhadap hal-hal kecil di depan mata, dan resiliensi terhadap kemalangan adalah prioritas. Hidup jangan diambil pusing, sekalipun kejadian buruk terjadi, ya, emang kenapa? Kita gak bisa memilih kejadian baik atau buruk yang akan menimpa kita. Tapi, cara kita merespons setiap kejadian adalah kuncinya.

Jangan membuat gunung dari sekepal tanah, jangan membuat urusan kecil menjadi masalah besar, jangan meributkan hal-hal yang gak penting. Sejak dimulainya kehidupan sampai sekarang, bumi dan benda langit terus bergerak dengan kecepatan yang anggun dan teratur. Ilmuwan sibuk mengurai pengetahuan sampai ke inti sel manusia, astronom coba mengarungi luasnya lautan antariksa yang masih penuh dengan misteri. Lah, elo, sibuk koar-koar anti vaksin, Ya Allah, pengen gue tampol aja. Canda tampol.

Udah, ya, jangan suka ribut-ribut di dunia maya, gak ada gunanya. Serah elo, deh, mau percaya atau gak percaya sama Covid-19. Pokoknya iyain aja biar cepat daripada buang-buang energi. Ingat! Urusan manusia itu remeh. Mending waktunya dipake buat belajar melatih diri dalam urusan-urusan yang mendatangkan kebahagiaan. Jiah, bahagia.


No comments:

Post a Comment