Sunday, September 4, 2016

Wisata Bangunan Merah di Melaka, Malaysia






Kali ini Melaka jadi tujuan pertama kita –gw dan dua orang kawan gw- saat melancong ke Malaysia untuk yang kesekian kalinya (ceilee gaya). Kalo kunjungan sebelumnya cuma keliling KL dan sekitarnya, kali ini coba main agak jauh sedikit ke negara bagian Malaysia yang lain. As you know, Melaka merupakan salah satu negeri (provinsi) di Malaysia. Jarak tempuh dari Kuala Lumpur International Airport 2 (KLIA2) ke Melaka ini cukup lumayan jauh, sekitar dua setengah jam-an. Untungnya kita ke sini pagi-pagi sekali, cabut dari bandara pukul 6.15 dan nyampe sana jam sepuluhan. Emang baiknya sih ke tempat ini saat cuaca masih gak terlalu panas. Jadi, momen untuk ngambil gambarnya juga bisa lebih lama.

Kita ke Melaka ke sebuah tempat wisata dengan ciri bangunannya yang sangat ikonik dan udah gak asing lagi, Bangunan Merah. Nama resmi dari tempat ini apa gw gak terlalu tau juga sih. Hasil googling saat bikin itinerary nemunya nama “Bangunan Merah”. Tapi anehnya pas gw tanya sama orang sekitar –mamang tiket bus, driver taksi, dll- mereka malah balik nanya Bangunan Merah itu apa. Lah? Yasudah gak perlu dibahas. Pokoknya kalo kalian mau ke tempat ini dan mereka gak ngerti, describe with your body language. Lol


Rute dari KLIA2 ke Bangunan Merah
  • KLIA2 Melaka Sentral : Naik bus yang tiketnya bisa dibeli di deretan counter tiket di dalam bandara seharga RM 24.30. FYI, tiket baru bisa dibeli pada pukul 5 subuh dan bus pertama start pukul 6.10 pagi. 
  • Melaka Sentral Bangunan Merah : Naik bus nomor 17. Tiket langsung dibeli di dalam bus seharga RM 1.50.

Masih seger bener dong ya gw nyampe ke tempat ini masih kena udara pagi. Spot foto di sini kece banget, sumpah. So instagramable! Langsung aja ngeluarin peralatan perang buat eksis di dunia maya, mulai dari handphone yang pasti, selfie stick, mini tripod, dan DSLR tentunya. Wahaha lengkap sudah. Padahal gw saat itu belum mandi karena pesawat landing jam setengah sebelas malem dan ‘ngegembel’ di bandara itu sampe jam enam pagi langsung cabut ke sini. Warbiyasahh .. baunya! Wkwk Gak lah gak bau, soalnya sebelum sampai sini kita ke toilet dulu buat cuci muka, gosok gigi (malahan dua kawan gw sempetin mandi), dan ganti kostum. Dan gw sempet nyetrika baju dong di dalam toilet. Buseeett niat ... *ini bukan untuk ditiru*

Karena masih pagi, belum banyak orang yang berkunjung, agak leluasa ambil gambarnya.

Yang ini gak ada gw nya, karena gw yang motoin -,-

Di sekitar sini lagi banyak bendera dipasang di pinggir jalan dan tempat umum karena bertepatan dengan menyambut hari kemerdekaan Malaysia yang jatuh pada tanggal 31 Agustus. Kita foto di sini tanpa sedikit pun mengurangi rasa nasionalisme terhadap negara kita sendiri. Assikkk.

'Ngalay' dikit gpp kali.
 

Coba mamangnya yang punya blog juga pengen eksis :D

Udah ahh segitu aja foto yang gw unggah di sini, selebihnya ada di Instagram gw. Jangan lupa follow. Hahaha

Abis cabut dari sini, kita mau lanjut ke destinasi berikutnya. Tapi sebelum ke sana, gw kasih tau dulu rute pulangnya. Kita pulang ke hotel yang terletak di Jalan Alor, Bukit Bintang.

Rute dari Bangunan Merah ke Bukit Bintang
  • Bangunan Merah Melaka Sentral : Naik taksi RM 15
  • Melaka Sentral TBS (Terminal Berpadu Selatan) : Naik bus Mayang Sari Ekspres (nama busnya sama kayak nama penyanyi Indonesia yang mantan istrinya siapa tuh gw lupa. Wkwkwk Penting banget apa dibahas. Itu tuh yang masih keluarga Cendana *halahh) seharga RM 12 tiket dibeli di counter di TBS-nya. Lama perjalanan ± dua jam.
  • TBS KL Sentral : Naik KTM. Harga token RM 2.40.

  • KL Sentral St. Bukit Bintang : Naik monorail RM 2.50.     
Oke sekian cerita dari gw, semoga bermanfaat buat yang baca. Jangan lupa follow akun socmed gw yang lain :) 
Terima kasih.

Friday, July 8, 2016

Solo Hunting Spot Foto di Jakarta

Namanya solo hunting, artinya gw hunting fotonya sendirian. Jadi gak ada momod sebagai objek foto. Gak apa-apa motoin lanskap kota Jakarta dan street photography jadi pilihan. Berikut spot yang bisa gw rekomendasiin buat para hunter, walaupun tempatnya sudah sangat mainstream. Dan gw untuk yang keempat atau mungkin kelima kalinya ke tempat ini. --'

1. Dapet banget nih perspektifnya. Lokasi di Museum Bank Indonesia, Kota Tua.


2. De Javasche Bank. Lokasi di Museum Bank Indonesia, Kota Tua.


3. Sisi lain De Javasche Bank.


4. Bangunan paling ikonik di Jakarta, apalagi kalau bukan Museum Fatahillah, Kota Tua.


5. Ini penampakan saat malam harinya. Makin rame orang-orang tumpah ruah di sini.


6. Para penjaja tukar uang baru buat angpao lebaran di depan Museum Mandiri.


7. Penampakan saat malam hari.


8. Diambil dari lantai 2 Museum Fatahillah.


9. Apa yang bisa kau lihat dari balik jendela?


10. Dari sudut yang lain.


11. Beranjak ke Istiqlal.


Sebenernya kemaren sempet ke Monas juga, tapi karena hujan dan udah ditutup pula (buat persiapan malam takbir katanya) akhirnya gak sempet buat moto di tempat itu. Hiiiikkss

Semoga tulisan ini bermanfaat. Jangan lupa follow akun social media lainnya. :D
Salam jeprettt!!!

Thursday, May 5, 2016

Camp Nou, Mimpi di Dalam Mimpi


Tribun penonton sudah penuh. Para supporter seperti sudah tak sabar ingin menyaksikan laga klasik antara kesebelasan Barcelona kontra Real Madrid. Begitu juga denganku. Ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Bisa menyaksikan laga secara langsung dan duduk di salah satu sudut stadium terbesar di Spanyol, Camp Nou.

Kick off hanya tinggal beberapa menit. Kupandangi keadaan seisi stadium. Mosaik-mosaik tanda penghormatan kepada Johan Cruyff mulai dibentangkan. Sayup-sayup terdengar suara narator yang mengumumkan bahwa pertandingan akan segera dimulai.

Seketika pemain dari kedua kesebelasan memasuki lapangan. Ah! Sepertinya sekali lagi aku harus mencubit lenganku untuk memastikan bahwa yang kulihat ini bukan mimpi. Menyaksikan dua pemain terbaik dunia, Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo berada dalam satu lapangan. Aku terpana dan larut terbawa suasana. Hingga aku terlupa untuk mengabadikan momen langka ini dengan telepon genggam yang sedari tadi hanya teronggok di dalam saku celana.

Suasana stadium semakin emosional saat minute's silence mengenang almarhum Johan Cruyff. Mata kamera membidik tribun penonton, terdapat mosaik bertuliskan GRACIES JOHAN. Kontribusinya yang begitu besar pada dunia sepak bola, terutama bagi klub Barcelona, membuat semua orang mencintainya. Tak terkecuali bagi para pemain rivalnya, Real Madrid. Dalam big screen terlihat pula mata Sergio Ramos berkaca-kaca. Terlebih, para penggawa Barcelona, termasuk sang entrenador Luis Enrique. Sebuah laga kandang yang sempurna.

Priiiiittt... Wasit meniup pluit babak pertama. Namun, pikiranku masih tak tentu arah. Kenapa tak kunikmati saja pertandingan ini tanpa harus bertanya-tanya tak percaya mengapa aku bisa sampai ke tempat ini.

Aku semakin gelisah. Mungkin aku butuh segelas kopi untuk sedikit menenangkan pikiranku. Apakah aku harus beranjak ke luar hanya demi segelas kopi? Melewatkan sang maestro si kulit bundar menari di lapangan tanpa tepuk tanganku? Sepertinya tidak. Lebih baik kutunggu saja penjaja kopi yang biasanya menghampiri penonton yang sekedar ingin membasahi tenggorokannya. Namun, sedari tadi memang tak kulihat satu pun bapak-bapak si penjaja kopi yang biasanya terlihat berseliweran di antara riuhnya para penggila bola. Atau mungkin dia lebih memilih menikmati big match ini dibanding menjajakan kopinya pikirku. Ternyata sekali lagi kutemukan diriku di antara alam bawah sadar. Terhenyak. Ini bukan stadium yang biasa kumasuki saat di tempatku. Ini stadium kaliber dunia. Dengan pengamanan super ketat, tak mungkin ada seorang penonton yang membawa termos dan sekotak rentengan kopi bisa lolos dari penjagaan pintu masuk. Mustahil.

Tiba-tiba suara penonton semakin riuh. Aku tak menyimak. Kulihat tayangan ulang pada layar. Suarez gagal menyambut bola hasil umpan silang Neymar. Belum beruntung. Waktu masih panjang, tapi entah mengapa aku merasa seperti cenayang. Seolah bisa membaca pertandingan ini akan berakhir dengan hasil diluar ekspektasiku.

Menit ke-17. Papan skor masih menunjukkan angka 0 - 0. Wasit memberi kartu kuning kepada Sergio Ramos akibat pelanggaran yang dilakukannya terhadap Suarez di luar kotak penalti.

Messi dan Neymar memasang kuda-kuda, bersiap untuk melakukan tendangan bebas. Dan lagi. Aku seperti cenayang. Menerka bahwa Messi lah yang akan mengeksekusi tendangan bebas tersebut.

Dan benar saja! Dengan kekuatan kaki kirinya, bola meluncur tajam ke arah gawang melewati pagar betis para pemain bertahan kubu Real Madrid. Aku mengernyitkan dahi agar lensa mata terfokus pada arah meluncurnya si kulit bundar. Tak kubiarkan mata ini berkedip sebelum tahu ke mana bola akan mendarat. Apakah berhasil masuk ke dalam gawang yang dijaga Keylor Navas, yang berarti akan mengubah papan skor menjadi 1 - 0. Atau sebaliknya, bukan suatu tendangan ancaman bagi sang penjaga gawang?

"Oouuwwhh...."
Suara bergemuruh saat bola tendangannya hanya melewati mistar gawang. Namun bola tersebut masih meluncur dengan derasnya ke arah tribun penonton yang berada tepat di belakang gawang.

Tiba-tiba.

Braaakkk!!! Bola itu mendarat tepat di wajahku. Hantaman itu membuat telingaku mengiang keras. Tak lama kemudian aku merasa berada di dunia yang lain. Mataku terpejam dan aku tak bisa mengingat apa pun.

Setelah berapa lama kemudian, mataku mulai bisa kubuka sedikit demi sedikit. Kulihat kerumunan orang menatapku penuh cemas. Dan di antara mereka ada yang memanggil-manggilku.

"Bu!"
"Bu...!"
"Bangun, Bu!"

"Ibu? Kenapa di negeri matador ini mereka tak memanggilku dengan sebutan senora, atau senorita?" Pikirku dalam hati.

"Ibu ngantuk yah?"
"Semalem pasti abis nonton bola ya?"
"Ini es kopinya, Bu!"


"Hah?" Aku tersentak.

Ah! Rupanya aku tertidur pulas di dalam kelas. Kuperbaiki posisiku. Berusaha menegakkan kepala yang sejak beberapa menit lalu tergeletak di atas meja. Ya, aku ingat sekarang. Selepas aku mengajar tadi, mataku terasa berat dan secara tak sengaja aku tertidur. Sebelum tertidur itu lah aku sempat meminta salah seorang muridku untuk membelikanku segelas es kopi di kantin sekolah. Mereka seperti sudah tahu betul kebiasaanku yang suka menonton pertandingan bola. Memesan es kopi adalah ciri yang menunjukkan bahwa malam harinya aku telah menyaksikan sebuah laga sepak bola.

Kuterima es kopi yang disodorkan tadi. Aku minum seteguk untuk memulihkan ingatan dan penglihatanku yang belum sempurna. Jam istirahat hanya tinggal beberapa menit lagi. Bergegas kutinggalkan kelas. Kulangkahkan kaki menuju ruang guru dengan menggenggam segelas es kopi di tangan kananku. Selama perjalanan dari kelas menuju ruang guru, aku sambil tersenyum mengingat mimpiku tadi. Mimpi untuk melihat pertandingan secara langsung di Camp Nou ternyata masih menjadi mimpi di dalam mimpi.