Sunday, June 20, 2021

Apa Rasanya Melewati Usia 30 Tahun?

Memasuki bulan Juni itu artinya umur gue bertambah --atau berkurang satu tahun. Tahun ini genap berusia 33 tahun. Jika rata-rata usia manusia --berdasarkan angka harapan hidup masyarakat Indonesia dan usia umat Rasulullah adalah 60-an tahun, maka gue sudah menghabiskan separuh lebih jatah hidup.

Ilustrasi dokumen pribadi

Apakah ini adalah usia-usia mendekati kematian? Hahaha.

Inget, ya! Syarat kematian bukan yang berusia tua. Tapi, yang hidup. Karena lawan kata dari 'tua' adalah 'muda' bukan 'mati'. Begitu juga dengan sakit. Orang mati bukan karena ia sakit, tapi karena ia hidup. Sakit berantonim dengan 'sembuh' bukan mati. Namun, menua sama halnya dengan sakit, hanyalah salah satu cara menuju kematian. Gue bilang cara, bukan syarat. Syarat mati, ya, hidup. 

Kematian melahap setiap individu yang hidup, baik yang tua, yang muda, yang sehat, apalagi yang sakit, yang kaya, yang miskin, yang makan buburnya diaduk, yang motornya Supra atau Nmax, yang helmnya SNI atau bukan, semua bakal mati. Yang suka ngelakson pas di lampu merah juga bakal mati --etdah orang gak sabaran banget, lampu ijonya juga baru nyala udah ngelaksonin mulu. 
Pernah gak, sih, kayak random gitu tiba-tiba ngitungin saudara, tetangga, atau teman seangkatan yang sudah meninggal siapa aja? Sampe mikir, ya ampun hidup cuma sebentar, ya, ternyata.

***
Jika usia 25-an tahun disebut quarter life crisis --memasuki gerbang usia dewasa, maka usia kepala tiga atau lebih menurut gue adalah usia-usia yang sedang bergesekan dengan usia tua. Puncaknya adalah ketika sudah di angka 50-an tahun --kalau boleh meminjam kata-katanya Beauvoir --head to head bertabrakan dengan usia tua.

Pertanyaannya adalah; Apakah ada yang rela dan penuh suka cita ketika disebut tua? Atau mengakui dirinya tua? Hahaha. Gue dari tadi bilang tua-tua, kalo ngomong di depan orang pasti langsung digampar. Wkwkwk. Gak usah jauh-jauh, emak gue contohnya. Beliau paling anti pake kerudung yang langsung --apa ya namanya-- karena menurutnya dia akan terlihat tua. Padahal emang tua, kan, enam puluh tahun. Bapak gue almarhum, semasa hidup gak mau mengenakan baju koko karena menurutnya koko itu cocoknya dikenakan oleh orang yang sudah tua. Padahal almarhum usianya 70 tahun. Termasuk orang-orang di sekitar kita kayaknya gak ada yang mau disebut 'tua'.

Tua itu mengerikan. Peran-peran dan rencana-rencana kita akan digantikan oleh para orang muda. Kita seolah tergulung oleh gelombang arus manusia yang lebih muda. Bahkan salah seorang filsuf dari Perancis pernah mengatakan bahwa menua lebih menakutkan daripada kematian. Kematian merupakan "ketiadaan absolut", sehingga bisa terasa nyaman. Sedangkan menua adalah "parodi kehidupan". Kita mungkin terlihat tua, berperilaku tua, dan menurut takaran objektif lainnya, memang sudah tua, tapi tidak pernah merasa tua. 

Sebuah pemikiran yang berusia lebih dari satu abad ini masih relevan dan relate dengan kehidupan sekarang, dengan kondisi psikologis manusia-manusia masa kini yang selalu nyaman bersembunyi di balik kata-kata penyangkalan 'gue belum tua, kok'. Tapi, ya, setidaknya penyangkalan-penyangkalan itulah yang menjadi alasan mereka tetap bersemangat menjalani hidup dengan tetap enggan merasa tua. 

Di belahan dunia mana pun tidak ada yang namanya budaya menua, yang ada adalah budaya terlihat awet muda. Lagi-lagi sebuah penyangkalan. Bahkan gue sendiri pun sebenarnya belum siap dipanggil dengan sapaan 'Ibu' kalau di luar lingkungan pekerjaan. Kalau kasus yang ini bukan karena gue gak merasa tua tapi lebih karena gue belum beranak-pinak jadi agak gak terima aja gitu. Hahaha. Namun, usia gue emang usia-usia rentan dipanggil dengan sapaan 'Ibu' dan 'Tante', sih, jadi it's okay.

Sekali lagi, mengakui bahwa kita mulai menua itu sulit karena ketakutan akan perubahan fisik sangat bising mendominasi isi kepala kita --meskipun kemerdekaan batin dengan menua dan penguatan identitas semakin kental. Kebisingannya sebanding dengan usaha-usaha kita agar terlihat awet muda. 

Gue yang dulunya bangga dengan hanya memakai bedak bayi, sekarang merasa kerepotan karena garis di pojok dan bawah mata yang awalnya hanya satu, berkembangbiak menjadi jembatan-jembatan halus seolah mempertegas jumlah usia gue. *ngetiknya sambil nahan tangis. Dan, ya, apa yang terjadi? Tiga tahun belakangan saya mulai rutin memakai skincare. Entahlah, ini berguna atau tidak, tapi setidaknya gue ada usaha. Usaha berdamai dengan proses menua.

Kemarin liat unggahannya Marshanda, dia berdamai dengan perubahan fisik yang termakan usia. Gue sama Marshanda, kan, seumuran, cuma beda sekolaan doang. 

***
Awal usia 20-an adalah masa di mana semua orang merasa takut gagal dan tidak diterima. Kehidupan serba kompetitif, emosi masih labil, kebanyakan insecure, menggantungkan kebahagiaan pada orang lain, takut jika kelihatan tidak sibuk. Percaya atau enggak, di usia 30-an untuk gue pribadi, hidup kalo udah ketemu ritmenya, yaudah, mau ngeribetin apa lagi? Gak ada yang perlu diribetin. Untuk urusan finansial, selagi cukup itu bagus. Urusan percintaan, karena gak mendewakan pernikahan, ya, biarkan mengalir saja. Untuk urusan insekyar-insekyur dengan pencapaian-pencapaian lenyap oleh waktu. Yang dicari dalam hidup ini hanya satu, merasa cukup. Inget kayak tagline-nya Wardah --kalo gak salah 'Baik itu cukup, cukup itu baik.

***

Usia tua hanyalah sebuah rangkaian, semua orang akan menjalaninya. Kecuali yang mati muda, ya. Makanya bersyukur yang bertemu dengan kata 'tua', jangan suka ngatain lo. Gak semua orang nyampe tua soalnya. Jangan ngomong sembarangan tua-tua aja lo. Wkwkwk apa, sih.

Tiap tahun doanya selalu ingin panjang umur, ingin hidup sampai tua. Giliran bertabrakan dengan usia tua malah mengeluh. Hahaha.

Sebagai penutup, kalo bisa, kenapa gak kita bikin aja peradaban baru dengan mengibarkan bendera bahwa menua gak buruk-buruk amat seperti kata Cicero --filsuf Romawi, "Tidak ada kepuasan  lebih besar dalam hidup daripada usia tua yang santai, tercurah hanya bagi pengetahuan dan pelajaran."



***

Tuesday, June 8, 2021

Emang Kalau Ditinggal Mati Harus Nangis?

Tadi banget gak sengaja liat headline berita dengan judul --seperti biasa-- memancing amarah netizen, Ria Ricis Gak Kelihatan Nangis Waktu Ayahnya Meninggal.

Karena relate sama yang pernah gue alami jadi gue pengen ikut berkomentar sekalian cerita. Termasuk emak gue yang kena cibiran karena gak nangis meraung-raung saat bokap meninggal.

Sekarang pertanyaannya, emang kalo bapak/ibu kita meninggal, anak-anaknya harus nangis? Istri/suaminya harus meraung-raung?
Jawaban gue, sih, udah jelas: NGGAK.

Kok, nggak?

Ya, jangankan nangis, untuk ngerasain sedih sampai beberapa hari ke depan aja gak ada waktu. Yang pernah ngalamin ditinggal mati orang tua pasti merasakan hal yang sama.

Gue pun kaget, ini pengalaman pertama ditinggal mati salah satu dari orang tua kami. Gue pikir, kami (anak dan istri almarhum) akan nangis meraung-raung jika ditinggal mati seorang sosok kepala keluarga, ternyata nggak. Gue sedih dengan fakta ini.

Tapi, begitulah kenyataannya. Sejak hari pertama sampai ketujuh beliau meninggal, kami --terutama gue-- gak sempat untuk nangis. Kenapa? KARENA SIBUK BANGET NGURUSIN PROSESI INI-ITU MULAI DARI A SAMPAI Z. Mikirin dari hal-hal yang kecil sampai besar. Semisal mikirin untuk pengadaan kain kafan, manggil dan nyari orang yang biasa mandiin dan mengkafani jenazah, koordinasi dengan pemuda dan ketua RT untuk menyalati jenazah, penguburan, menyiapkan kursi-kursi untuk pelayat, pasang terpal supaya gak kepanasan, dan lain-lain. Masih banyak hal-hal kecil yang perlu dipikirin saat kematian, kalo gue sebutin satu per satu gak akan selesai sampe ba'da Isya. Dan masalah terbesarnya adalah masalah biaya. Kalo ngomongin biaya agak tabu, ya, karena nanti dikira gak ikhlas, dikira perhitungan. Ya, namanya juga hidup, selalu sepaket dengan cibirannya. Hehe.

Jadi, setiap gue mau nangis di pojokan, selalu aja ada gangguan semacem;
"Wida, palu taro di mana? Mau pasang terpal,"
"Wida ambilin karung, ini yang ngelayat beras bingung mau diwadahin ke mana,"
"Wida, baskom buat amplop belum ada,"
"Wida, aqua gelasnya sisa satu dus, beli lagi aja."
Baru mau duduk sebentar,
"Wida, beli kacang sama snack buat jamuan."
Ya Allah, gue lagi berduka akhirnya pergi ke pasar beli kacang, kuping gajah, bala-bala, rokok, aqua gelas, kopi, amplop, tali rapia, rapi ahmad, kembang kuburan, dll."

Pas mau duduk sebentar,
"Wida, ada tamu dari sekolah,"
"Wida, ada tamu keluarga dari Cilegon,"
"Wida, ada tamu temen SMP,"
"Wida, ada tamu temen fesbuk." HALAH.

Pas mau duduk sebentar,
"Cari tukang masak buat tahlil nanti malem sekalian sama buat masak niga dan nujuh hari (hari ke-3 dan ke-7). Nanti buat belanja bahan-bahannya belanja aja ke Pasar Rawu."

Ya Allah, walopun gue hidup di kampung, bisa gak, sih, budaya masak-masaknya dihilangin aja, capek demi apapun. Gue lagi berduka, lagi sedih, kenapa disuruh pergi ke pasar lalu harus masak-masak di rumah, heboh amat. Bapak gue meninggal, gue cuma pengen duduk sendiri sambil nangis, itu aja. Gak bisa. Gue sibuk, kakak gue sibuk, Raffi Ahmad sibuk, semua sibuk. Ria Ricis juga.

"Gak usah, pesen catering aja," pun rupanya bukan solusi mengurangi kesibukan selama tujuh hari. Kebayang, kan, gimana makin repotnya kalo sampe ngadain masak-masak sendiri di rumah.

Jadi intinya, gue dan mungkin kalian yang pernah ditinggal mati oleh orang tua saat usia dewasa gak akan kelihatan nangis di hari pertama sampai ketujuh. Karena bukan tangisan yang dibutuhin, tapi tenaga. Perasaan hancur, kehilangan, rasa sedih, seolah lenyap digantikan dengan yang namanya kesibukan.


Di saat tengah malam, rumah udah mulai sepi dari para tamu tahlilan, di situlah momennya gue nangis, banjir air mata. Bukan pas rame orang gue nangis, gak gitu. Makanya yang orang tau kita gak nangis, ya, karena seperti itu. Seperti apa? Seperti Ria Ricis. Halah.

Besok paginya kembali sibuk menyiapkan untuk tahlilan nanti malam selama tujuh hari. Ya, gue gak nangis. GUE KE PASAR. Beli kacang, kuping gajah, bala-bala, rokok, aqua gelas, kopi, amplop, tali rapia, rapi ahmad, kembang kuburan, dll. Halah. Pokoknya ketemu rapi ahmad selama tujuh hari. Wkwkwk. Canda rapi.

Nih, ya, saking capeknya dengan acara-acara seremonial kematian, gue sampe kesel sendiri dan dalam hati sampe bilang, "Kenapa bukan gue aja yang mati kalo begini capeknya. Gak tidur, gak istirahat selama seminggu, tenaga terkuras. Capeknya melebihi acara hajat pernikahan. Malah kalo pernikahan cuma sehari, lah, ini tujuh hari."
Astagfirullah. Mon maap, itu pikiran-pikiran kacau saya kala itu, semoga maklum, namanya juga manusia, kadang bersyukur kadang mengeluh, kadang capek kadang nggak, kadang cantik kadang cantik banget.

Akhirnya, saya dan Ria Ricis mengucapkan terima kasih sudah mendengar suara hati seorang anak yang "tidak menangis" ditinggal bapaknya.

Monday, December 28, 2020

Kok Ada Manusia Model Begini?

Suatu hari gue pernah mengobrol panjang lebar via telepon dengan seorang teman. Sebagai dua orang yang sudah sama-sama dewasa -sepertinya orang-orang mengklaim dirinya dewasa ketika bahan obrolannya semakin receh- alih-alih membahas tentang politik dan persentasi keuntungan dana investasi biar keliatan kaum millenial yang rajin menabung, kami lebih banyak berkelakar tentang kelakuan 'bodoh' orang-orang yang konon dididik dan dibesarkan oleh manusia tapi kelakuannya seperti ...

Banyak banget yang kami bahas sampe bertanya-tanya, "Kok ada, ya, manusia model begini?"

Hahaha.

Satu aja gue contohin kelakuan manusia yang bikin gue gemes. Lihat, kan, gambar di atas? Pasti sering, kan, nemuin hal yang sama ketika kalian masuk ke toilet umum? Sengaja gue fotoin buat bukti bahwa manusia itu hilang kesadarannya. Wkwkwk. Cita-cita ingin mengubah dunia, perilaku elu dulu pada yang kudu diubah. Ya Allah ingin banget gue berkata kasar. Liat, kan, itu tempat sampah? Kok tisunya gak dimasukin gitu loh ke dalem? Kan, itu tisu bekas elu, lu pikir siapa yang harusnya masukin itu tisu ke tempat sampah, woy! Ada juga tisu berserakan di lantai. Itu tempat sampah, woy! Bukan pajangan! Buang bekas tisu yang bener! Ke tempat sampah sampai masuk ke dalem! Masa gitu aja gak tau?! Emosi, nih, gue.

Ini lagi. Semua tempat kosong lu taroin sampah. 


Ada lagi, nih, yang bikin emosi.


Udah tau itu wastafel, kenapa buang tisu di situ??? WOOYY !!! 

Yang perilakunya masih kayak gini gak usah temenan sama gue. Bye.




 

Kepepet, Gue Nyetrika Pakai Botol Aqua

Sumber Foto: Dokumen Pribadi

Sebagai perempuan minimalis yang ogah rempong bawa-bawa barang banyak saat liburan, nyumpelin baju di tas kecil adalah jalan ninjaku. Lagian kalau lagi jalan sama temen, dia selalu prepare bawa setrikaan yang bisa gue pinjam.

Sayangnya, pas kemarin staycation di Bogor si kawan gak bawa 'benda pelicin' tersebut sementara kemeja yang mau gue pake kusut banget. Ya, mau gak mau, dong, akhirnya gue menghubungi pihak hotel buat pinjam setrikaan. Tapi, resepsionisnya bilang semuanya lagi terpakai sama tamu yang lain. Gue gak mau nunggu lama-lama langsung search YouTube "cara merapikan baju yang kusut tanpa setrika" dan langsung gue praktikkan. Hahaha. 

Caranya adalah dengan memanfaatkan teko listrik untuk memanaskan air. Setelah mendidih, masukkan air panas tersebut ke dalam botol plastik Aqua bekas. 

Sumber Foto: Dokumen Pribadi

Tidak untuk ditiru, ya, btw. Ini gue lagi kepepet aja. Harus hati-hati juga karena botol plastik akan sedikit letoy terkena air panas meski gak sampai bocor.

Di bawah ini adalah foto kemeja gue yang kusut.

Sumber Foto: Dokumen Pribadi

Setelah botol terisi air panas gue mengutamakan menggosok di spot-spot yang paling kusut terlebih dahulu. Gak sebaju-baju juga yekan disetrika keburu airnya dingin dulu. Botolnya panas banget kalau dipegang dengan tangan kosong, jadi gue pakai handuk untuk alas telapak tangannya. It works. Cukup keliatan banget perbedaannya, kan? Hahaha.


Sekali lagi! Bukan untuk ditiru! 
Kecuali kepepet.


Wednesday, October 28, 2020

Gak Perlu Antri di Loket, Naik KRL Pakai LinkAja

Ilustrasi: Dokumen Pribadi

Sebagai penikmat KRL rasanya aneh aja gitu gue masih ngeliat pemandangan antrian seperti di atas. Padahal zaman sekarang udah dikasih kemudahan pembelian tiket KRL hanya dengan menggunakan uang elektronik semacam Flazz, Brizzi, TapCash, dll., tinggal tap, langsung masuk. Gue sendiri semenjak ada pilihan pembayaran melalui uang elektronik ini ngerasa nyaman banget terutama untuk hal efisiensi waktu yang sebelumnya gue harus membeli tiket harian/mingguan secara manual di loket yang ada di stasiun. Tentunya dengan menghadapi segala problematika macam harus mengantri, berdesakan, belum lagi kalau sampai ketinggalan kereta, jadi harus nunggu jadwal pemberangkatan kereta selanjutnya.

Gue pernah banget ngerasain pas hari Senin ke Stasiun Tanah Abang di pagi buta (sekitar jam 6) itu ternyata manusia se-Jabodetabek kayak tumpah semua di situ. Hahaha atau di Stasiun Bogor sore hari pas menjelang akhir pekan, beugh! Ngeliat antriannya aja gue udah pusing. Gue sampe ngebayangin kalo gue kerja di tempat yang lokasinya mengharuskan setiap hari dalam seminggu, pulang-pergi menggunakan moda transportasi ini bisa stres pas nyampe tempat kerja. 

Cobaan hidup seperti itu akan terasa sedikit lebih ringan kalau kita menggunakan sistem pembayaran uang elektronik. Sumpah, deh. Kayak gue yang cuma sesekali naik KRL aja ngerasa penting banget bawa Flazz. Hemat waktu.

Terlebih, nih, sekarang makin dimudahkan untuk urusan pembelian tiket. Gak perlu ngantri. Tinggal buka aplikasi LinkAja di handphone, shake hp-nya sampe nongol barcode, kalau udah keluar barcode tinggal scan ke gate masuk dan gate keluar yang ada logo LinkAja-nya. Asalkan ada saldonya minimal Rp13.000. Ya! Jadi harus ada saldo minimal ya di aplikasi LinkAja. Kalau lebih banyak saldo lebih baik. :)

Jadi, sistemnya, tuh, ketika kita tap in di stasiun awal keberangkatan saldo otomatis terpotong Rp13.000, tapi nanti kelebihan sisa saldo akan dikembalikan ketika tap out di stasiun tujuan. Misal, kita berangkat dari Stasiun Tanah Abang menuju Stasiun Bogor, itu kan tarifnya Rp6.000. Ketika tap di gate masuk Stasiun Tanah Abang saldo kita berkurang sebesar Rp13.000. Begitu sampai di Stasiun Bogor tap di gate keluar, kelebihan saldo sebesar sebesar Rp7.000 akan masuk lagi ke saldo LinkAja kita.

Ilustrasi: Website LinkAja

Ilustrasi: Website LinkAja



Makin mudah makin senang jalan-jalan naik KRL. :)

Tuesday, October 13, 2020

Hal Lucu yang Pernah Emak Gue Katakan atau Lakukan

 1. Erlena

Sambil setengah teriak emak gue nanya, "Ini gimana cara ngilangin erlena?" Gue bingung 'erlena' apaan? Tapi gestur tangan dia nunjuk ke arah mata. Barulah di situ gue tau maksudnya, cara menghapus eyeliner (emak gue bilangnya erlena). Kebetulan hari itu habis menghadiri acara wisuda dengan full make up.


2. Kalkulator Rusak


"Emang kalkulatornya rusak, ya?" Tanya emak gue sambil terengah saat menaiki tangga manual di pusat perbelanjaan. Gue bingung kok tiba-tiba nanya kalkulator rusak. "Itu, tuh tangga yang bisa jalan." Astaga! ESKALATOR, MAK!


3. Daun Singkong

Gue lai asik main komputer di kamar tiba-tiba emak gue buka pintu kamar sambil bilang, "Jokowi aja doyan daun singkong, tuh." Udah dia bilang gitu doang terus tutup pintu kamarnya lagi. Gue di dalam masih bengong maksudnya apaan, sih?


4. Golkar

"Emak mau naik kereta aja, ah, gak mau naik golkar!" Ya ampun padahal emak gue nih udah berkali-kali dibilangin, bukan golkar tapi GoCar. Tetep aja lupa selalu bilangnya GOLKAR.


5. Indomaret

Emak: "Udah beli komputernya (baca: monitor)?

Gue: "Udah, beli online, barusan abis bayar dari Indomaret."

Emak: " OH, INDOMARET SEKARANG JUALAN KOMPUTER JUGA?"

Gue: (*^(^*%&#@(65&*%^!!#$_


6. Ikan di Atas Printer

Emak di dapur lagi masak ikanbandeng acar. Pas masakan udah mateng 'ujug-ujug' masuk ruang tv terus naro ikan tadi di atas printer, dong, ya Allah. Katanya biar gak disemutin. Tapi, kan gak di atas printer juga, Mak, di situ banyak kertas-kertas. Ckckck


7. Mekdoni

"Coba beliin Emak ayam mekdoni." Teka-teki apalagi sih ini ya Allah. Mekdoni apaan? Kata dia chicken itu, loh. Ya ampun McD (baca: mekdi), dia bilang mekdoni.


8. Radar

Sambil bisik-bisik emak gue bilang, "Orang itu di kolam renang kok pake radar?"Kan gue bingung radar apaan,terus gue tanya, "Radar apa, Mak?" Terus dia nunjuk ke salah satu orang pengunjung di kolam renang itu, "OOHHH, CADAR MAK CADAR. BUKAN RADAAAAARRRRR."


Itu lah beberapa tingkah emak gue yang kadang ngeselin tapi bikin ngakak juga. Ckckck. Fyi, tulisan ini dapat upvote yang cukup banyak di Quora jadi gue tulis juga di blog. Hehehe.

Sebenernya masih banyak lagi tingkah emak gue yang bikin ngakak tapi gue coba inget-inget dulu. Wkwkwk



Wednesday, January 1, 2020

Rekomendasi Hotel di Kota Tua

Foto Dokumen Pribadi

Selamat berganti tahun anw. Selamat datang di 2020 yang Februarinya nambah satu hari. 
Di sini gue mau coba review hotel low budget di Jakarta yang sangat unik, nyaman, bersih, dan dekat dengan bangunan paling ikonik di sini yaitu Museum Fatahillah atau kita biasa menyebutnya Kota Tua. 

Yang pernah dateng ke Kota Tua ini pasti tau, kan, deretan kafe yang mengelilingi bangunan putih itu? Ternyata, selain kafe ada juga hotel tersembunyi di situ, ya ampun gue pun baru tau. Lokasinya emang strategis parah nih hotel. Ya, bener-bener plek berhadapan dengan Museum Fatahillah.

Sekitar lima hari gue ke Jakarta, di hari pertama sampai ketiga menginap di sekitaran Bendungan Hilir. Namun, setelah temen gue cabut pulang, sisa dua hari gue putuskan gak extend di hotel itu karena gue pikir dengan harga yang sama, kamarnya terlalu monoton kayak orang pacaran yang udah kelamaan, terus lokasinya agak jauh dari pusat keramaian. Saya bosan. Gue tipikal orang yang suka ngegembel yang penting jalan, berinisiatif cari hotel-hotel backpacker yang model-model kapsul atau dormitory gitu. Nemulah si Mel's Dorm ini yang kemudian bikin gue jatuh hati dan suka banget sama konsepnya. Eh, kalau konsep sih sebetulnya hotel-hotel backpacker yang low budget oriented ini justru biasanya dibikin lebih unik sih. Liat deh tulisan gue sebelumnya yang penginpan di Jogja dan Melaka, konsepnya hampir sama, sederhana tapi bernilai seni tinggi. Heleh opo. 



Penampakan kamar dan kamar mandi

Mel's Dorm ini sama seperti kebanyakan hotel dormitory lainnya menyediakan yang mixed dorm (male-female), men only, dan women only. Kebetulan kemarin gue booked yang women only. Meskipun mau ambil yang mixed dorm pun gak masalah. Gue ada pengalaman juga pilih yang mixed dorm di penginapan yang berbeda dan gapapa. Ya gapapa, gue mau bilang gitu doang takut ada yang mikir aneh-aneh karena pandangan tiap orang gak selalu sama. Sekalian jelasin juga kalau pun di mixed dorm, ya, kita masing-masing, ora kenal ora urus siapa orang di samping kita karena terhalang sekat.

Gue tuh sekarang udah males nulis di blog, sekalinya nulis ngomongnya ke mana-mana. Heran.

Lanjut, harganya sekitaran 120k-200k lebih. Gue ambil yang 140k per malam dengan empat bunk bed. Serunya gini kalau ambil penginapan dormitory bisa kenal sama orang baru, traveler dari lain kota dan lain negara. Kemarin gue sekamar dengan dua traveler dari Sabah, Malaysia dan satu lagi dari Cirebon. Ya, walapun gak ngobrol banyak -karena tujuan orang-orang menginap bukan untuk ngobrol melainkan untuk jalan-jalan- tapi seenggaknya tau latar belakang dan tujuan mereka datang ke tempat ini. Gitu sih kalo gue. Mas Dhani, Mas Anang?

Oh, iya, satu lagi yang mau gue bilang, entah kebetulan atau enggak, kebanyakan hotel backpacker oriented ini stafnya atau resepsionisnya itu ramah banget sama tamu. Itu nilai plus sih di mata gue. Kalo Mas Dhani, Mas Anang? 
Untuk kedua kalinya ini gue yang awalnya cuma mau nginap sehari di sini akhirnya extend sehari lagi bisa dibilang karena si mbak-mbak dan mas-mas stafnya ramah banget anjir. Auranya positif. Wkwkwk Lebih friendly dan helpfull ceile  (l-nya satu apa dua sih? helpful? helpfull? serah).

Yang ini tempat buat santuy main uno




Di Bring in House, Jogja - Lavender Guesthouse, Melaka - Yez Yez All Good Hotel, Jogja itu mereka semuanya ramah. Gapapa gue bilangin aja kali lu pada nyari hotel di kota itu, gue rekomendasiin dah karena gak semua yang gue singgahi gue tulis di blog. 

Oh, iya, Mel's Dorm ini letaknya di lantai tiga, karena di lantai satu sama dua kayak ada entah toko atau coffeeshop gitu. Pokoknya recommended untuk para backpacker atau yang hanya sekadar singgah, atau hanya untuk rebahan kayak gue dan menikmati view sekitaran Kota Tua. 



Sebagai antitesis dari Nia Ramadhani, staycation di penginapan yang underrated begini berasa surga dunia. Gimana nggak, pergi ke sini niatnya hanya untuk gak ngapa-ngapain, cuma untuk menghindar sejenak dari dunia nyata yang selalu ingin diperhatikan, tidur, melipir cari makan, balik lagi ke hotel untuk rebahan, gitu terus sampe jatah liburnya abis, gitu doang. 

Pulang-pulang juga kepikiran lagi gimana caranya mengembalikan saldo yang surut. Hahaha. Mamam.


Rating untuk Mel's Dorm:
Harga 4/5
Kebersihan 4/5
Lokasi 5/5
Kenyamanan 4/5
Pelayanan 5/5