Monday, November 27, 2017

Proses Tilang Bikin Ribet Parah

Ilustrasi: Pixabay

Gue coba berbagi pengalaman saat gue ditilang, kemudian saat mengikuti proses persidangan yang berlarut-larut sehingga bikin capek. Capek waktu, tenaga, dan uang. Gue akan coba bikin tulisannya seringkas mungkin, walaupun kejadian aslinya memakan waktu berhari-hari dan kalau kalian mengalaminya sendiri kalian bakal berpikir mending pindah kewarganegaraan daripada sebagai rakyat jelata Indonesia ngurusin yang beginian aja dipersulit.
Senin, 30 Oktober 2017
Motor gue kena tilang di daerah Rangkasbitung. Gue yang berdomisili di Serang tentu gak hafal dengan jalan dan medan di sana. Sempet nanya arah pulang sama tukang service-nya (waktu itu ke sana mau service handycam), katanya bisa lewat jalur sini (sambil nunjuk ke arah jalan yang kemudian motor gue ditilang). Percaya dong. Eh, pas baru beberapa meter lewat jalur tersebut, ngerasa, kok, ada yang aneh. Kok, kayaknya ini jalan satu arah, deh, dalam hati. Baru juga 'ngeh kepikiran begitu, tiba-tiba polisi udah nongol di belakang. Langsung ditegur dan ditilang tentunya. STNK ditahan dan dikenai sanksi dua pasal; Pasal 281 (tidak memiliki SIM) dan Pasal 287 (melanggar lalulintas).

Gak punya inisiatif kasih uang damai, karena emang gak punya duit, baru dipake bayar service tadi, kan. Sambil nyodorin selembar kertas berwarna biru, polisinya bilang, "Nih, nanti bayar ke BRI sejumlah uang Rp 1.500.000, bukti pembayaran dibawa saat ikut sidang tanggal 10 November 2017." Jujur aja waktu itu sempet su'udzon sama polisinya. Gue pikir dia bilang suruh bayar denda Rp 1.500.000 itu cuma gertakan aja supaya gue kasih uang damai di tempat. Entah lah kenapa mindset gue dan atau mungkin kalian (wakakak nyari temen) begitu denger kata "tilang" pasti melekat dengan kata "uang damai". Gak tau siapa yang nyetting begitu, udah ada di otak gue, beneran. Ya, maklum lah gue berpikiran kayak gitu, soalnya dari pengalaman gue ditilang (sebanyak dua kali), gak pernah mencapai angka jutaan gitu, paling cuma dua ratusan, nih polisi gertak doang, pikir gue saat itu. Maaf, loh, ini gue udah su'udzon.
Kamis, 9 November 2017
Datang lah gue ke BRI, serahkan kertas biru tadi ke Customer Service-nya. Diproses. "Satu juta lima ratus, Bu," katanya. Lah? Kan gue melongo, ya. Itu polisi beneran, ya, kasih denda segitu? Buset. Karena gue cuma pegang Rp 900.000, gue gak jadi bayar, dong. Si CS-nya aja sempet kaget, kok, denda tilangnya gede banget, emang Ibu abis ngapain? Loh? Maksudnya abis melanggar apa? Ya, gue bilang cuma salah arah dan gak punya SIM. Sempet rame juga itu para nasabah yang di sana ngedeketin gue -ciye- nanya kenapa bisa besar gitu dendanya, ya, gak tau. Coba nanya ke nasabah yang lagi ngantri itu takutnya ada yang punya pengalaman ditilang dengan denda sebesar ini, ternyata nihil. Pulang lah gue sambil berusaha cari uang buat nutupin kekurangannya tersebut. 
Jum'at, 10 November 2017
Di hari yang sakral bagi bangsa Indonesia ini -Hari Pahlawan- gue nelongso. Harusnya hari ini hadir di persidangan seperti yang sudah ditentukan. Namun, karena gue kagak bisa bayar itu denda, jadi akan percuma kalau pun gue pergi ke sana. Mana jaraknya jauh, kan, Serang - Rangkasbitung. Ya udah lah, bodo amat. 
 
Minggu, 12 November 2017
Jual ginjal buat nutupin kekurangannya. Hahaha
 
Senin, 13 November 2017
Hari kerja udah pasti gak akan sempet ngurusin beginian, lagian feeling gue berkata bakalan lama, deh, kalau udah berurusan sama birokrasi di negara kita tercinta ini. Gue minta bantuan sepupu gue buat ngurusin perkara ini ke Kantor Pengadilan Rangkasbitung. Untung dia mau. Padahal rumahnya lebih jauh lagi, loh, di Cilegon. Luar biasa.

Pukul 05.30 WIB, dia udah standby di Stasiun Merak untuk naik kereta jurusan Rangkasbitung  sambil bawa anaknya yang berumur lima tahun. Singkat cerita, pukul sembilan dia sampai di depan kantor pengadilan. Bersama ratusan orang lainnya yang juga kena tilang, dia berusaha masuk ke dalam kantornya. Namun, tidak diperbolehkan oleh petugas yang berjaga di sana. Katanya, yang boleh masuk hanya yang sudah memiliki slip bukti pembayaran dari BRI. Pergi lah dia ke BRI yang letaknya berdekatan dengan kantor pengadilan. Dan di sana tempat lahir beta udah bertumpuk orang mengantri. Untungnya sepupu gue ini punya ATM BRI, jadi gak perlu mengantri di teller bank. Tapi, ATM dia pajangan dompet doang, gak ada saldonya. Sama aja bo'ong. Dia nelpon, gue transfer uang hasil jual ginjal lele tadi, beres.

Setelah transfer uang denda, kita bisa cek statusnya di www.etilang.info 

Bergegas dia kembali ke kantor pengadilan. Sesampainya di sana dan menunjukkan slip bank dan/ bukti digital-nya tidak langsung diproses dengan alasan harus membawa Surat Kuasa dari yang menguasakan. Oke, lah, itu masuk akal karena yang ngurusin bukan yang bersangkutan (yang ditilang) langsung, kan. Karena sudah pukul 14.00, kereta jurusan Merak pun sebentar lagi tiba, maka dia putuskan untuk pulang hari itu.

Selasa, 14 November 2017
Ada cerita lain di hari ke-2 dia pergi ke pengadilan ini. Versi lengkapnya klik di Gara-Gara Uang Seribu ini. Pukul 09.00 WIB dia sampai di kantor pengadilan. Nampak tidak ada seorang pun petugas di sana. Meja nampak kosong, sementara puluhan orang tengah menanti diadili. Halah, seolah-olah. Satu jam kemudian, salah seorang petugas datang, menginstruksikan kepada seluruh orang yang tengah menunggu tadi untuk mempersiapkan kertas biru yang diberikan oleh si polisi saat menilang.
Mengantri lama, menunggu namanya dipanggil satu per satu oleh petugas kemudian dari kertas biru tersebut akan dilihat pelanggarannya apa saja, kemudian disidang dan diputuskan jumlah denda yang harus dibayarkan. Lah, kok, diputuskan kena denda berapa? Bukannya udah transfer uang sejumlah Rp 1.500.000, ya? Berarti udah jelas dong didendanya kena Rp 1.500.000?

Tenang pemirsa, ternyata begini alurnya: Si terdakwa (eh, bener gak, sih, gue nyebut orang yang ditilang itu dengan sebutan "terdakwa"? Apa korban? Wakakakak) sebelum disidang memang diharuskan membayar Rp 1.500.000. Ketika di persidangan, rupanya jumlah denda tidak sebesar itu. Rata-rata sekitar 200-300 ribuan, dan sisanya akan dikembalikan. Oh, begitu? Eh! Belom kelar! Lu kira proses persidangan mulai dari dipanggil nama, dicocokkan si kertas biru tadi, ketok palu sampai pengambilan STNK-nya semudah itu? NOOOOOO!!!

Setelah menunggu lama, nama sepupu gue dipanggil, dong. Masuk lah dia menghadap petugas, menyerahkan kertas biru tadi, nama yang tertera jelas bukan nama dia makanya diminta juga surat kuasanya. Begitu dia nyodorin surat kuasa, si petugasnya bilang gak usah repot-repot bawa surat kuasa yang dibikin sendiri karena sudah kami sediakan di sini, cukup dengan membayar uang Rp 30.000. Ngeselin, kan? Yang model begituan aja di bisnisin. Coba dari kemaren bilang kalau gak usah bawa dari rumah, kan sepupu gue gak repot-repot malem-malem pergi ke warnet cuma buat bikin itu surat kuasa. Bikes!

Ya udah lah ya kita mah sebagai rakyat jelata yo manut ae. Biar cepet kelar. Setelah diketok palu rupanya cuma dikenakan denda Rp 250.000. Sisanya akan dikembalikan tunai setelah jam istirahat. Nunggu lah dia.

Gue singkat aja, akhirnya dia dapetin uang pengembaliannya setelah proses yang berliku. Makanya gue saranin baca Gara-Gara Uang Seribu ini dulu. Hehe

Setelah dapetin sisa uang dendanya, dia bergegas ke ruangan berikutnya untuk pengambilan STNK. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Pengambilan STNK tidak bisa dilakukan hari ini, silakan kembali esok hari. Njiir.

Rabu, 15 November 2017
Hari ini gue seneng, karena gue pikir hari ini bakalan beres. Kan, tinggal ngambil STNK doang. Lagian kesian juga sama sepupu gue ninggalin anaknya di rumah demi bantuin gue. Hiks. Terharu gue. 
Seperti Biasa juga dia pagi-pagi udah di kantor pengadilan, dari Cilegon, loh. Beres... Beres... Dalam hatinya. Begitu dia masuk ke salah satu sudut ruang pengadilan di mana tempat itu adalah tempat pengambilan STNK, sudah berkumpul puluhan orang. Sudah bertumpuk kertas-kertas slip pengambilan STNK di atas meja. Namun, tak ada satu pun petugas menunjukkan batang hidungnya. Lama menunggu. Matahari mulai menunjukkan keangkuhannya. Panas tjoi udah siang. Puluhan orang masih menanti harap-harap cemas, mereka seperti diabaikan. Tak lama kemudian, petugas nongol, dengan santainya bilang bahwa hari ini cuma ingin membagikan sisa-sisa uang yang belum diambil kemarin, jadi tidak menerima pengambilan STNK. Hemm!! Gue udah boleh mengumpat belum? Sok! Kampret!! Gitu doang? Hahaha Setidaknya ini membuktikan bahwa birokrasi kita emang ribet parah. Bisa ngebeyangin gak, sih, mereka yang datang berhari-hari, itu sudah pasti  mengorbankan banyak hal, entah itu uang, tenaga, atau pun waktu. Mungkin saja, kan, dari puluhan, bahkan ratusan (karena sepupu gue bilang di hari pertama itu kayaknya mencapai angka tiga digit), orang tersebut satu di antaranya ada yang harus rela dimarahi atasan karena ijin gak masuk kerja, ada yang meninggalkan rumah pukul lima pagi dan meninggalkan anak kayak sepupu gue ini, ada yang sementara tidak berjualan, dan sebagainya. Pelik.

Jum'at, 17 November 2017
Untungnya sepupu gue ini sedikit cerdas. Rencananya hari ini dia coba peruntungan lagi dateng ke persidangan, tapi hal tersebut urung dilakukan karena dia sudah coba menghubungi temennya (temen dapet nemu saat di persidangan yang asli orang Rangkasbitung). Dia mengabari bahwa hari itu gak perlu ke sana karena belum ada jadwal pembagian STNK. Oke, baiklah.
Senin, 20 November 2017
Berakhir sudah siksaan ini. Hari ini dia bisa langsung ngambil STNK-nya. Alhamdulillah.

Ilustrasi: Pixabay



Gue berbagi cerita ini bukan untuk menggiring opini kalian bahwa gue adalah aktor protagonisnya di sini yang seolah-olah memberi kesan bahwa gue adalah korban dari kerumitan birokrasi negara kita. Bagaimana pun gue salah. Gue gak punya SIM dan gue melanggar lalulintas walaupun tidak disengaja, sih. Gue salah gak punya SIM, itu aja.




4 comments:

  1. Kok ribet banget ya..? Saia sewaktu kena tilang di Kota Solo beberapa waktu yg lalu sehabis sidang langsung dibalikin tu stnk nya...

    ReplyDelete
  2. Gw waktu kena tilang di depok langsung di samperin ama satpam di pengadilan depok dan tawar menawar deal di angka 60k,gw gak perlu sidang stnk langsung di ambilin hahaha pengalaman yg menyenangkan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh, bisa begitu, ya. Wahahaha Bisa dicoba deh lain kali :v

      Delete