Showing posts with label Sepak Bola. Show all posts
Showing posts with label Sepak Bola. Show all posts

Sunday, August 8, 2021

Beruntung Hidup Sezaman dengan Messi

 "Dalam luasnya antariksa dan panjangnya waktu, bahagia rasanya bisa menempati planet dan zaman yang sama dengan Lionel Messi."

Kutipan tersebut -dengan sedikit mengubah kalimat pembuka sebuah buku karya Carl Sagan- adalah gambaran umum perasaan fans  FC Barcelona di seluruh dunia saat ini, termasuk saya. 

Sumber Foto: Google

Beberapa hari terakhir berita kepergian Messi dari Barcelona sedikit mengusik ketenangan saya. Momen yang seharusnya tidak pernah terjadi. Bahkan menurut kepercayaan kami dan dengan keyakinan penuh Messi akan dan mungkin bisa menghabiskan karirnya di Barcelona hingga pensiun. Memang benar jika tak ada yang abadi, nanti ada masanya dunia tidak bisa lagi menyaksikan kehebatan Messi di lapangan hijau atau hiruk-pikuk komparasi Messi dengan Ronaldo di media sosial. Namun, tidak dengan cara seperti ini, meski secara hitam di atas putih, habis dan/atau putus kontrak adalah hal yang wajar terjadi pada setiap pemain sepak bola. Messi pergi dengan status bebas transfer karena tenggat kontraknya habis per 30 Juni kemarin. Tidak ada yang salah. Yang salah mungkin perasaan kami para fans-nya. Hahaha.

Di balik kacaunya keuangan Barca dan ketatnya peraturan La Liga menyangkut gaji dan kontrak pemain, biarlah itu menjadi urusan internal petinggi-petinggi klub. Saya hanya akan melihat kepergian Messi dari sisi yang lebih humanis.

Saya mulai mencintai sepak bola sejak gelaran Piala Dunia 1998 yang dihelat di Perancis. Saat itu saya masih kelas 5 SD. Namun, cinta ini terpaksa harus saya pendam karena saya seorang wanita, tak elok rasanya menyukai permainan yang didominasi kaum Adam saat itu. Hingga di 2010 saya melihat sosok yang mencuri perhatian di Piala Dunia, siapa lagi kalau bukan Lionel Andres Messi. Pemain berkebangsaan Argentina ini mengingatkan saya pada aktor pemeran Pedro dalam telenovela Amigos, yaitu Martin Ricca. Wkwkwk. Setiap melihat Messi, saya terbayang dengan Pedro-nya Amigos di mana telenovela tersebut punya andil banyak mewarnai masa anak-anak dan remaja saya.

Sumber Foto: Google

Kembali pada ke-patah-hatian kami para Cules -sebutan untuk fans Barcelona, menempatkan 'keberuntungan' sebagai antidot rasa kecewa. Bumi merupakan rumah beratapkan langit luas, sejak terbentuknya empat miliar tahun yang lalu akibat kondensasi gas dan debu antarbintang-bintang, bumi terus berevolusi. Setelahnya, bumi merupakan tempat yang unik, tempat di mana manusia pertama diturunkan dan memulai perjalanan panjang terbentuknya kehidupan hingga sekarang. Bumi, sejak dimulainya kehidupan telah banyak melahirkan manusia dan zamannya di waktu yang  relatif singkat. Peradaban dan penguasa silih berganti. Membayangkan zaman kenabian hingga kekaisaran Romawi kuno -mungkin hingga sekarang, timbul banyak pertanyaan dalam benak saya, sudah setua itu kah bumi dan nenek moyang kita? Berapa banyak manusia zaman dulu hingga sekarang yang pernah hidup di bumi? Dengan bentangan waktu yang begitu lama -ini ketika saya membayangakan kehidupan di tahun-tahun Sebelum Masehi dan setelahnya, saya merasa beruntung hidup sezaman dengan Messi, manusia yang dengan bakat alaminya membuat semua pencinta sepak bola kagum kepada La Pulga (Si Kutu), kecuali Madridista.

Tuhan memilih bumi sebagai satu-satunya benda langit yang dihuni oleh milyaran manusia, meski kita juga selalu senang jika membayangkan ada kehidupan di planet lain. Messi sering dianggap sebagai Alien karena kemampuannya di atas rata-rata manusia pada umumnya. Solo run-nya saat melewati hadangan tujuh pemain Getafe atau saat berhasil 'mengolongi' Jerome Boateng hingga terjatuh ketika laga melawan Bayern Munchen di Camp Nou. Itu semua menjadi bukti jeniusnya Messi mengobrak-abrik jantung pertahanan lawan. Setelah kejadian tersebut Bayern Munchen terdepak dari putaran UCL selanjutnya. Alih-alih Manuel Neuer ingin menunjukkan 'siapa bosnya' -sisa-sisa kepongahan ketika Jerman melawan Argentina di putaran final Piala Dunia 2014 setahun sebelumnya, kini yang terjadi sebalikanya. Tagar 'whoistheboss' dengan meme mengolok Neuer sempat ramai di dunia per-twitter-an saat itu. Ahahaha. 

Saat menulis ini, saya sambil memantau  press conference Messi untuk yang terakhir kalinya. Dari sekian alasan yang bisa membuat saya menangis, sepak bola adalah salah satunya. Para penikmat sepak bola pasti mengalami hal yang sama ketika tim kesayangan kita kalah di laga krusial atau menang di menit-menit akhir, termasuk drama di luar lapangan seperti jual-beli pemain, beberapa tangis mengiringi tiap momen karena sepak bola terlalu dalam melibatkan emosi  para penonton dan memaksa kita berdiri di antara dua jurang, kemenangan dan kegagalan. Sebuah gambaran realisme nasib yang tersaji tidak hanya 90 menit di atas lapangan, namun ia merasuki pojok tersempit kehidupan.

Messi yang jenius maupun kita semua adalah spesies yang muncul sebentar lalu musnah. Kita memahami dunia, tempat di mana segala sesuatunya bisa berubah namun tetap sesuai dengan pola yang teratur. Tentang perpisahan, saya teringat salah satu lagu Mansyur S, kira-kira begini liriknya; bukan perpisahan kutangisi, hanya pertemuan kusesali. Mungkin jika lagu dangdut ini sampai ke telinga Messi pasti akan diputar-ulang selama beberapa hari ini. Selama itu pula para fans berusaha membiasakan diri melihat pemandangan Camp Nou tanpa Messi.

Pada akhirnya, kekaguman dan keterpukauan akan Messi ketika berseragam FC Barcelona hanya akan menjadi nostalgia yang tak putus-putus. 

Gracias, Capitan.


Tuesday, September 13, 2016

Novel Sore Ini







Sore ini gw ngerasa ada yang kurang, kayak ada sesuatu yang belum ditunaikan. Tapi entah apa itu.
Syukur deh, seteguk kopi berhasil ngingetin gw satu hal. Baru inget! Gw kan punya buku yang tadi siang baru dibeli. Ternyata itu yang ngeganjel dari tadi. Gw mau lahap bukunya. Sebuah novel remaja. Sebenernya gw random aja beli buku itu. Soalnya pikiran alam bawah sadar gw udah haus pengen baca buku baru. Kebetulan dua buku yang gw pesen online belum juga dateng, sementara hasrat ingin membaca semakin kuat. Alhasil sewaktu tadi ke Indomaret buat beli pembalut, dkk. Mata gw ngelirik ke sebuah display khusus buku yang ada di pojokan. Gw liatin satu per satu judul bukunya. Kebanyakan sih novel-novel remaja gitu. “Ahelah... Serial FTV semua,” kata gw dalam hati. Tapi gak apa-apa deh, buat ganjel  sembari nunggu dua buku yang tadi itu sampe. Karena gw pikir semua novel remaja itu isi ceritanya hampir sama, jadi gw ambil buku bukan berdasarkan judulnya yang menarik. Tapi berdasarkan harganya yang paling murah. 
Dengan ditemani kopi yang tinggal setengah gelas. Seperti sudah menjadi kebiasaan kalo punya buku baru, gw bolak-balik dulu, gw raba cover-nya depan-belakang, sedikit dilengkungin kemudian tahan dan lepas dengan cepat lembaran kertasnya sambil ciumi aroma yang dihasilkannya. Di situlah kenikmatan membaca buku dalam bentuk fisik. Walopun bagi sebagian orang yang punya hobi baca, sekarang gak perlu repot bawa dan pegang buku. Cukup mengandalkan smartphone dan membaca buku dalam bentuk digital. Gak perlu jadi perdebatan, itu masalah selera aja.

Biar lebih tau karakter si penulisnya, gw buka lembar pertama dan terakhirnya terlebih dahulu. Ucapan terima kasih si penulis. Kok mirip ucapan terima kasih di lembar skripsi itu yah gw pikir. Gaya bahasanya khas gaya-gaya bahasa mahasiswa tingkat akhir. Masa transisi di penghujung masa remaja menjelang awal dewasa. Gw pernah ngalamin.  Gak ada yang nanyaaaaaaa...
Berikutnya baca lembar paling terakhir sebelum cover belakang. Biografi si penulisnya. Bener dugaan gw, doi mahasiswa tingkat akhir. Mendekati kalimat terakhir perkenalannya. Di situ tertulis bahwa doi adalah seorang pecinta (all about) Korea. WuuuzzzZ... Iman gw mulai goyah.

Bukan apa-apa, cuma berdasarkan pengamatan gw yang sok tau ini, kalo ngeliat temen-temen yang punya ketertarikan dengan hal-hal yang berbau itu, gw kayak udah bisa baca sedikit-banyak sifat dan karakteristiknya mempunyai beberapa kemiripan. Entah. Mind set yang terbentuk dibenak gw seperti itu. Melankolis, penuh perasaan, sisi femininnya lebih dominan. Bukan jelek, bukan. Buseett ..ntar gw ditimpukin para penggemarnya lagi. Justru karena gw berada di sisi yang bersebrangan dengan itu, makanya setelah membaca kalimat terakhirnya batin gw langsung bilang kalo novel ini bagus. Tapi bukan gw banget. Sama kayak kesukaan baca buku dalam bentuk fisik atau digital, tidak perlu ada perdebatan. Ini cuma masalah selera. *salim dulu atuh*

Kata kiasan yang sering terdengar; don’t judge a book by its cover kayaknya pas banget. Dengan kopi yang tinggal seperdelapan gelas, gw paksa lanjutin baca dan coba nikmatin bukunya. Beberapa alur ceritanya bisa terbaca. Mulai bosan. Gw abisin sisa kopi itu. Berhenti di halaman enambelas. Sementara udah dulu. Tapi gw bakal paksain tetep baca dan habisin buku ini. Gimana pun, buku jenis apapun, dan siapa pun penulisnya, buku itu pasti mempunyai manfaat. Minimal bisa menambah kosakata. Ini sama halnya saat manusia sedang merasa di titik terendah, seolah merasa keberadaannya tak diinginkan oleh bumi dan seisinya. Dia lupa satu hal, bahwa karbon dioksida yang dikeluarkan yang menurutnya tidak berguna, justru sangat diperlukan oleh tumbuhan hijau untuk proses fotosintesis. Di situlah keberlangsungan hidup tetap terjaga. Begitu juga dengan buku; The more you read. The more things you know...  ~Dr. Seuss

*Yang bikin tulisan ini (anggap saja itu gw), bukan seorang yang hobi baca. Namun, suatu ketika ia jatuh cinta pada sebuah artikel yang dibacanya di jejaring sosial. Menurutnya tulisan tersebut sangatlah indah. Ia yang notabene seorang penggemar sepakbola kagum bagaimana bisa sebuah artikel sepakbola dikemas cantik oleh diksi berbalut sastra. Jenius. Sekarang ia mulai mengagumi sosok si penulis dan pengesai tersebut. Dan dari situlah motivasi untuk membiasakan membaca pun muncul.

Thursday, May 5, 2016

Camp Nou, Mimpi di Dalam Mimpi


Tribun penonton sudah penuh. Para supporter seperti sudah tak sabar ingin menyaksikan laga klasik antara kesebelasan Barcelona kontra Real Madrid. Begitu juga denganku. Ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Bisa menyaksikan laga secara langsung dan duduk di salah satu sudut stadium terbesar di Spanyol, Camp Nou.

Kick off hanya tinggal beberapa menit. Kupandangi keadaan seisi stadium. Mosaik-mosaik tanda penghormatan kepada Johan Cruyff mulai dibentangkan. Sayup-sayup terdengar suara narator yang mengumumkan bahwa pertandingan akan segera dimulai.

Seketika pemain dari kedua kesebelasan memasuki lapangan. Ah! Sepertinya sekali lagi aku harus mencubit lenganku untuk memastikan bahwa yang kulihat ini bukan mimpi. Menyaksikan dua pemain terbaik dunia, Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo berada dalam satu lapangan. Aku terpana dan larut terbawa suasana. Hingga aku terlupa untuk mengabadikan momen langka ini dengan telepon genggam yang sedari tadi hanya teronggok di dalam saku celana.

Suasana stadium semakin emosional saat minute's silence mengenang almarhum Johan Cruyff. Mata kamera membidik tribun penonton, terdapat mosaik bertuliskan GRACIES JOHAN. Kontribusinya yang begitu besar pada dunia sepak bola, terutama bagi klub Barcelona, membuat semua orang mencintainya. Tak terkecuali bagi para pemain rivalnya, Real Madrid. Dalam big screen terlihat pula mata Sergio Ramos berkaca-kaca. Terlebih, para penggawa Barcelona, termasuk sang entrenador Luis Enrique. Sebuah laga kandang yang sempurna.

Priiiiittt... Wasit meniup pluit babak pertama. Namun, pikiranku masih tak tentu arah. Kenapa tak kunikmati saja pertandingan ini tanpa harus bertanya-tanya tak percaya mengapa aku bisa sampai ke tempat ini.

Aku semakin gelisah. Mungkin aku butuh segelas kopi untuk sedikit menenangkan pikiranku. Apakah aku harus beranjak ke luar hanya demi segelas kopi? Melewatkan sang maestro si kulit bundar menari di lapangan tanpa tepuk tanganku? Sepertinya tidak. Lebih baik kutunggu saja penjaja kopi yang biasanya menghampiri penonton yang sekedar ingin membasahi tenggorokannya. Namun, sedari tadi memang tak kulihat satu pun bapak-bapak si penjaja kopi yang biasanya terlihat berseliweran di antara riuhnya para penggila bola. Atau mungkin dia lebih memilih menikmati big match ini dibanding menjajakan kopinya pikirku. Ternyata sekali lagi kutemukan diriku di antara alam bawah sadar. Terhenyak. Ini bukan stadium yang biasa kumasuki saat di tempatku. Ini stadium kaliber dunia. Dengan pengamanan super ketat, tak mungkin ada seorang penonton yang membawa termos dan sekotak rentengan kopi bisa lolos dari penjagaan pintu masuk. Mustahil.

Tiba-tiba suara penonton semakin riuh. Aku tak menyimak. Kulihat tayangan ulang pada layar. Suarez gagal menyambut bola hasil umpan silang Neymar. Belum beruntung. Waktu masih panjang, tapi entah mengapa aku merasa seperti cenayang. Seolah bisa membaca pertandingan ini akan berakhir dengan hasil diluar ekspektasiku.

Menit ke-17. Papan skor masih menunjukkan angka 0 - 0. Wasit memberi kartu kuning kepada Sergio Ramos akibat pelanggaran yang dilakukannya terhadap Suarez di luar kotak penalti.

Messi dan Neymar memasang kuda-kuda, bersiap untuk melakukan tendangan bebas. Dan lagi. Aku seperti cenayang. Menerka bahwa Messi lah yang akan mengeksekusi tendangan bebas tersebut.

Dan benar saja! Dengan kekuatan kaki kirinya, bola meluncur tajam ke arah gawang melewati pagar betis para pemain bertahan kubu Real Madrid. Aku mengernyitkan dahi agar lensa mata terfokus pada arah meluncurnya si kulit bundar. Tak kubiarkan mata ini berkedip sebelum tahu ke mana bola akan mendarat. Apakah berhasil masuk ke dalam gawang yang dijaga Keylor Navas, yang berarti akan mengubah papan skor menjadi 1 - 0. Atau sebaliknya, bukan suatu tendangan ancaman bagi sang penjaga gawang?

"Oouuwwhh...."
Suara bergemuruh saat bola tendangannya hanya melewati mistar gawang. Namun bola tersebut masih meluncur dengan derasnya ke arah tribun penonton yang berada tepat di belakang gawang.

Tiba-tiba.

Braaakkk!!! Bola itu mendarat tepat di wajahku. Hantaman itu membuat telingaku mengiang keras. Tak lama kemudian aku merasa berada di dunia yang lain. Mataku terpejam dan aku tak bisa mengingat apa pun.

Setelah berapa lama kemudian, mataku mulai bisa kubuka sedikit demi sedikit. Kulihat kerumunan orang menatapku penuh cemas. Dan di antara mereka ada yang memanggil-manggilku.

"Bu!"
"Bu...!"
"Bangun, Bu!"

"Ibu? Kenapa di negeri matador ini mereka tak memanggilku dengan sebutan senora, atau senorita?" Pikirku dalam hati.

"Ibu ngantuk yah?"
"Semalem pasti abis nonton bola ya?"
"Ini es kopinya, Bu!"


"Hah?" Aku tersentak.

Ah! Rupanya aku tertidur pulas di dalam kelas. Kuperbaiki posisiku. Berusaha menegakkan kepala yang sejak beberapa menit lalu tergeletak di atas meja. Ya, aku ingat sekarang. Selepas aku mengajar tadi, mataku terasa berat dan secara tak sengaja aku tertidur. Sebelum tertidur itu lah aku sempat meminta salah seorang muridku untuk membelikanku segelas es kopi di kantin sekolah. Mereka seperti sudah tahu betul kebiasaanku yang suka menonton pertandingan bola. Memesan es kopi adalah ciri yang menunjukkan bahwa malam harinya aku telah menyaksikan sebuah laga sepak bola.

Kuterima es kopi yang disodorkan tadi. Aku minum seteguk untuk memulihkan ingatan dan penglihatanku yang belum sempurna. Jam istirahat hanya tinggal beberapa menit lagi. Bergegas kutinggalkan kelas. Kulangkahkan kaki menuju ruang guru dengan menggenggam segelas es kopi di tangan kananku. Selama perjalanan dari kelas menuju ruang guru, aku sambil tersenyum mengingat mimpiku tadi. Mimpi untuk melihat pertandingan secara langsung di Camp Nou ternyata masih menjadi mimpi di dalam mimpi.

Sunday, March 27, 2016

Gara-gara Sepak Bola, Jadi Tau Apa Itu ‘Daylight Saving Time’



Seminggu yang lalu gue liat jadwal El Clasico tanggal 3 April 2016 pukul 02.30 dini hari. Pas kemaren ngecek Twitter ternyata jadwalnya berubah jadi pukul 01.30 dini hari. Pas gue cek lagi ternyata jadwal di beberapa liga di Eropa sama juga. Ada perubahan jam tayang, yakni maju satu jam lebih awal. Gue pikir ini fenomena apaan, kenapa tiba-tiba jadwal di beberapa liga tsb berubah. Setelah gue cari tau ternyata itu adalah fenomena yang namanya Daylight Saving Time.

Apa itu DST (Daylight Saving Time)?
Jadi DST itu semacam perubahan zona waktu di beberapa negara di dunia. Eropa, Amerika Utara, Kanada, sebagian Afrika, dan Australia. Berdasarkan ketentuan pemerintah setempat, beberapa negara ini merubah zona waktu menjadi maju atau mundur satu jam. Ya! Bagi negara-negara yang beriklim subtropis yang memiliki empat musim ini (kecuali Jepang, Korea, dan Cina yang tidak pernah menerapkan DST) pemerintah punya kebijakan untuk merubah zona waktu tersebut.

Tujuannya apa?
Tujuan dari negara tersebut menerapkan DST adalah untuk menyesuaikan aktivitas sehari-hari seperti sekolah, bekerja, atau aktivitas lain yang mungkin hanya bisa dilakukan saat terang. Karena berbeda dengan negara-negara yang dilalui khatulistiwa seperti kita, di mana porsi waktu siang dan malam itu lebih merata setiap hari dan setiap tahunnya. Jadi gak perlu lah penerapan DST. Walaupun beberapa negara tetangga kita seperti Malaysia dan Singapura ‘pernah’ menerapkannya.

Terus kapan DST dimulai?
DST berlaku saat memasuki musim semi dan musim panas. Dan biasanya dilakukan pada hari Minggu pukul 02.00 dini hari (namun ada beberapa negara juga yang memulainya pada pukul 01.00). Jika seharusnya setelah pukul 01.59 adalah pukul 02.00, namun pada waktu tsb langsung beranjak pukul 03.00. Dan pada saat akan kembali ke waktu normal, pukul 02.00 terjadi dua kali. Yaitu saat pukul 02.59, kembali lagi ke pukul 02.00.

Gue jadi inget, baru kemaren gue nerangin materi Revolusi Bumi di kelas 6. Kalian masih inget kan Revolusi Bumi menyebabkan apa? Perubahan musim. Betul. Di situ juga dijelasin waktu perubahan musim di bumi belahan utara dan selatan. Dan memang sinkron, apa yang gue dapet dari browsing tentang DST dengan apa yang ada di buku bahwa bulan Maret ini sudah memasuki musim semi untuk bumi di belahan utara.
Tanggal
Belahan Utara Bumi
Belahan Selatan Bumi
21 Maret – 21 Juni
21 Juni – 23 September
23 September – 22 Desember
22 Desember – 21 Maret
musim semi
musim panas
musim gugur
musim dingin
musim gugur
musim dingin
musim semi
musim panas

Penjelasan yang rada ‘ilmiah’nya cukup segini aja, karena gue nulis ini memosisikan diri bukan sebagai guru, tapi sebagai penggila bola (tapi gak sampe gila beneran). Maka dari itu, mari kita lanjutkan gilanya. Loh!
Jadi gue sekarang paham kenapa jadwal La Liga (Spanyol) berubah satu jam lebih awal. Yang biasanya perbedaan waktu antara Indonesia – Spanyol itu enam jam. Sekarang jadi lima jam. Awalnya laga El Clasico itu tanggal 2 April 2016 pukul 20.30 waktu setempat (Spanyol), di Indonesia-nya tanggal 3 April pukul 02.30 dini hari. Sekarang jadi pukul 01.30 dini hari. Oh I see. Ke mana aja gue selama ini. Hahaha

Can’t wait for El Clasico
Visca Barca!

Sunday, November 22, 2015

Seperti Barca yang Mulai 'Nyaman' Tanpa Messi

Dari gambar ilustrasi di atas, sudah cukup mendeskripsikan apa yang sedang gue lakuin sekarang. Gak ke mana-mana juga, cuacanya agak sedikit redup untuk ukuran jam 10 siang. Jadi enak banget buat sekedar leha-leha di dalem kamar. Nyalain laptop konekin hotspot, surfing sudah. Duduk di depan jendela kamar, sambil liatin tanaman ijo-ijo yang mulai tumbuh di teras rumah yang luasnya gak seberapa itu. Gak lupa seduh kopi dulu. Jadi keinget tag-line nya seorang blogger- jurnalis yang bilang, “Berapa pun rejeki yang kita dapat, mari rayakan dengan segelas kopi.” Cakep. Tapi gue gak lagi merayakan apa pun sebenernya. Ngopi ya ngopi aja. Ngomong-ngomong soal ‘Perayaan’, semalem perayaan Barca yang menangi El Clasico jadi trending topik nomer wahid di jagat planet ini. Wuuiih (tepuk tangan dulu lah). Akhirnya musim ini ada yang bisa ngebombardir Santiago Bernabeau dengan skor telak. Kalo musim lalu Madrid digdaya saat menjamu Barcelona di kandangnya, kali ini sebaliknya.
Dua dari Trisula Maut el Barca, Neymar dan Suarez membuat Barca unggul di paruh pertama. Mereka berdua beberapa pekan ini rajin membuat gol sejak Messi absen dari lapangan hijau. Entah ini sinyal baik kah atau buruk apabila kemudian timbul pertanyaan,” Apakah Barca mulai nyaman tanpa Messi?”
Tapi ya udah sih yah, yang penting menang.
Euforia El Clasico bertambah saat Messi masuk ke lapangan setelah beberapa menit paruh kedua mulai untuk menggantikan Rakitic. Walopun pada kesempatan ini Messi tidak menjebol gawang, tapi dia beberapa kali melakukan tembakan ke arah gawang.
Selain itu, ada yang unik dari El Clasico kali ini. Yaitu, Supporter Madrid. Ya! Supporter Madrid! Tapi bukan tentang ekspresi muka lesu mereka loh yah. Melainkan standing ovation yang mereka berikan kepada Andres Iniesta saat keluar lapangan yang digantikan oleh Munir. Menurut gue, (entah) mungkin ini bentuk hormat mereka kepada Iniesta sebagai pemain senior Tim-Nas Spanyol (mungkin). Karena biasanya kan supporter menyoraki pemain rivalnya. Atau sesama supporter saling baku hantam. Biasanya kan yang heboh itu supporternya. Pemainnya mah anteng aja. Supporter Barca-Madrid saling bully, padahal Messi-Ronaldo nya mah gak sepanas supporternya. Biasa aja. Supporter Persij*-Pers*b saling lempar mantan. Yang Pro Jokowi - Pro Prabowo saling bersitegang di media sosial, saling adu jotos, rame. Yang heboh pendukungnya. Termasuk gue sih. wkwkwk bahas apa sih ini. Tapi salut lah buat Madridista yang di Bernabeau. Football respect. Selain laga El Clasico, semalem juga ada big-match antara Manchester City kontra Liverpool. Sebagai fansnya Barcelona, gue juga suka beberapa klub di Premier League. Cuma sekedar suka doang sih, gak sampe sayang, apalagi sampe ingin memiliki. Nggak.
Beberapa musim lalu di BPL, gue suka dengan Manchester City. Tapi semenjak kedatangan Sterling, jadi males gitu. Tapi setelah ngontrak De Bruyne, jadi seneng lagi sama Man. City. Begitu denger, Edin Dzeko dipinjamkan ke AS Roma, dan Milner dibuang ke Liverpool jadi males lagi deh. Gitu aja terus sampe .................. (yang baca tolong isi sendiri, tp yg lucu). *males bikin punchline biar gerrrnya berantakan*
Sebagai pecinta salah satu klub La Liga, tapi gue terima kenyataan kalo Premier League itu lebih seru, lebih dramatis, dan lebih anu. Apalagi semenjak kedatangan Klopp ke Liverpool. Memphis dan Bastian Schnwewesenweger (maap sengaja typo, abis yg gue inget nama ujungnya ada Gerr.Gerr nya gitu) ke MU. Wuih makin seru aja ini liga. Selain itu ada The Special One yang membiarkan ‘Bus’ nya tetap di parkiran. Gak jalan-jalan. Hehehe
O iya, ada yang terlupakan dari big-match semalem. Laga Bayern Muenchen kontra Schalke. Tapi ya udah lah yah. Tanpa kita perbincangkan pun udah tau klub mana yang bakal menang. Mungkin karena dominasi Munchen yang sudah teramat sangat di atas langit itu bikin kompetisinya (mungkin) membosankan. Seolah-olah musim belum usai pun kita udah tau “Siapa yang jadiiiiiii ...juaranya...”.
Anyway, seiring jarum jam yang terus berputar, perut yang mulai meminta hak nya, dan gelas kopi yang tadinya terisi penuh kini mulai kosong, kayak hati gue. Apasih. Leha-leha Minggu ini harus disudahi. Yang harus selalu kita ingat adalah bahwa bola itu bundar, tapi saat kaki berpijak di lapangan (tanah), apa pun bisa terjadi. Biasakan dirimu tidak bergantung pada orang lain. Seperti Barca yang mulai nyaman tanpa Messi. *apa coba*
Gue Wida, terima kasih. *ala-ala stand up comedyan*