Monday, November 27, 2017

Proses Tilang Bikin Ribet Parah

Ilustrasi: Pixabay

Gue coba berbagi pengalaman saat gue ditilang, kemudian saat mengikuti proses persidangan yang berlarut-larut sehingga bikin capek. Capek waktu, tenaga, dan uang. Gue akan coba bikin tulisannya seringkas mungkin, walaupun kejadian aslinya memakan waktu berhari-hari dan kalau kalian mengalaminya sendiri kalian bakal berpikir mending pindah kewarganegaraan daripada sebagai rakyat jelata Indonesia ngurusin yang beginian aja dipersulit.
Senin, 30 Oktober 2017
Motor gue kena tilang di daerah Rangkasbitung. Gue yang berdomisili di Serang tentu gak hafal dengan jalan dan medan di sana. Sempet nanya arah pulang sama tukang service-nya (waktu itu ke sana mau service handycam), katanya bisa lewat jalur sini (sambil nunjuk ke arah jalan yang kemudian motor gue ditilang). Percaya dong. Eh, pas baru beberapa meter lewat jalur tersebut, ngerasa, kok, ada yang aneh. Kok, kayaknya ini jalan satu arah, deh, dalam hati. Baru juga 'ngeh kepikiran begitu, tiba-tiba polisi udah nongol di belakang. Langsung ditegur dan ditilang tentunya. STNK ditahan dan dikenai sanksi dua pasal; Pasal 281 (tidak memiliki SIM) dan Pasal 287 (melanggar lalulintas).

Gak punya inisiatif kasih uang damai, karena emang gak punya duit, baru dipake bayar service tadi, kan. Sambil nyodorin selembar kertas berwarna biru, polisinya bilang, "Nih, nanti bayar ke BRI sejumlah uang Rp 1.500.000, bukti pembayaran dibawa saat ikut sidang tanggal 10 November 2017." Jujur aja waktu itu sempet su'udzon sama polisinya. Gue pikir dia bilang suruh bayar denda Rp 1.500.000 itu cuma gertakan aja supaya gue kasih uang damai di tempat. Entah lah kenapa mindset gue dan atau mungkin kalian (wakakak nyari temen) begitu denger kata "tilang" pasti melekat dengan kata "uang damai". Gak tau siapa yang nyetting begitu, udah ada di otak gue, beneran. Ya, maklum lah gue berpikiran kayak gitu, soalnya dari pengalaman gue ditilang (sebanyak dua kali), gak pernah mencapai angka jutaan gitu, paling cuma dua ratusan, nih polisi gertak doang, pikir gue saat itu. Maaf, loh, ini gue udah su'udzon.
Kamis, 9 November 2017
Datang lah gue ke BRI, serahkan kertas biru tadi ke Customer Service-nya. Diproses. "Satu juta lima ratus, Bu," katanya. Lah? Kan gue melongo, ya. Itu polisi beneran, ya, kasih denda segitu? Buset. Karena gue cuma pegang Rp 900.000, gue gak jadi bayar, dong. Si CS-nya aja sempet kaget, kok, denda tilangnya gede banget, emang Ibu abis ngapain? Loh? Maksudnya abis melanggar apa? Ya, gue bilang cuma salah arah dan gak punya SIM. Sempet rame juga itu para nasabah yang di sana ngedeketin gue -ciye- nanya kenapa bisa besar gitu dendanya, ya, gak tau. Coba nanya ke nasabah yang lagi ngantri itu takutnya ada yang punya pengalaman ditilang dengan denda sebesar ini, ternyata nihil. Pulang lah gue sambil berusaha cari uang buat nutupin kekurangannya tersebut. 
Jum'at, 10 November 2017
Di hari yang sakral bagi bangsa Indonesia ini -Hari Pahlawan- gue nelongso. Harusnya hari ini hadir di persidangan seperti yang sudah ditentukan. Namun, karena gue kagak bisa bayar itu denda, jadi akan percuma kalau pun gue pergi ke sana. Mana jaraknya jauh, kan, Serang - Rangkasbitung. Ya udah lah, bodo amat. 
 
Minggu, 12 November 2017
Jual ginjal buat nutupin kekurangannya. Hahaha
 
Senin, 13 November 2017
Hari kerja udah pasti gak akan sempet ngurusin beginian, lagian feeling gue berkata bakalan lama, deh, kalau udah berurusan sama birokrasi di negara kita tercinta ini. Gue minta bantuan sepupu gue buat ngurusin perkara ini ke Kantor Pengadilan Rangkasbitung. Untung dia mau. Padahal rumahnya lebih jauh lagi, loh, di Cilegon. Luar biasa.

Pukul 05.30 WIB, dia udah standby di Stasiun Merak untuk naik kereta jurusan Rangkasbitung  sambil bawa anaknya yang berumur lima tahun. Singkat cerita, pukul sembilan dia sampai di depan kantor pengadilan. Bersama ratusan orang lainnya yang juga kena tilang, dia berusaha masuk ke dalam kantornya. Namun, tidak diperbolehkan oleh petugas yang berjaga di sana. Katanya, yang boleh masuk hanya yang sudah memiliki slip bukti pembayaran dari BRI. Pergi lah dia ke BRI yang letaknya berdekatan dengan kantor pengadilan. Dan di sana tempat lahir beta udah bertumpuk orang mengantri. Untungnya sepupu gue ini punya ATM BRI, jadi gak perlu mengantri di teller bank. Tapi, ATM dia pajangan dompet doang, gak ada saldonya. Sama aja bo'ong. Dia nelpon, gue transfer uang hasil jual ginjal lele tadi, beres.

Setelah transfer uang denda, kita bisa cek statusnya di www.etilang.info 

Bergegas dia kembali ke kantor pengadilan. Sesampainya di sana dan menunjukkan slip bank dan/ bukti digital-nya tidak langsung diproses dengan alasan harus membawa Surat Kuasa dari yang menguasakan. Oke, lah, itu masuk akal karena yang ngurusin bukan yang bersangkutan (yang ditilang) langsung, kan. Karena sudah pukul 14.00, kereta jurusan Merak pun sebentar lagi tiba, maka dia putuskan untuk pulang hari itu.

Selasa, 14 November 2017
Ada cerita lain di hari ke-2 dia pergi ke pengadilan ini. Versi lengkapnya klik di Gara-Gara Uang Seribu ini. Pukul 09.00 WIB dia sampai di kantor pengadilan. Nampak tidak ada seorang pun petugas di sana. Meja nampak kosong, sementara puluhan orang tengah menanti diadili. Halah, seolah-olah. Satu jam kemudian, salah seorang petugas datang, menginstruksikan kepada seluruh orang yang tengah menunggu tadi untuk mempersiapkan kertas biru yang diberikan oleh si polisi saat menilang.
Mengantri lama, menunggu namanya dipanggil satu per satu oleh petugas kemudian dari kertas biru tersebut akan dilihat pelanggarannya apa saja, kemudian disidang dan diputuskan jumlah denda yang harus dibayarkan. Lah, kok, diputuskan kena denda berapa? Bukannya udah transfer uang sejumlah Rp 1.500.000, ya? Berarti udah jelas dong didendanya kena Rp 1.500.000?

Tenang pemirsa, ternyata begini alurnya: Si terdakwa (eh, bener gak, sih, gue nyebut orang yang ditilang itu dengan sebutan "terdakwa"? Apa korban? Wakakakak) sebelum disidang memang diharuskan membayar Rp 1.500.000. Ketika di persidangan, rupanya jumlah denda tidak sebesar itu. Rata-rata sekitar 200-300 ribuan, dan sisanya akan dikembalikan. Oh, begitu? Eh! Belom kelar! Lu kira proses persidangan mulai dari dipanggil nama, dicocokkan si kertas biru tadi, ketok palu sampai pengambilan STNK-nya semudah itu? NOOOOOO!!!

Setelah menunggu lama, nama sepupu gue dipanggil, dong. Masuk lah dia menghadap petugas, menyerahkan kertas biru tadi, nama yang tertera jelas bukan nama dia makanya diminta juga surat kuasanya. Begitu dia nyodorin surat kuasa, si petugasnya bilang gak usah repot-repot bawa surat kuasa yang dibikin sendiri karena sudah kami sediakan di sini, cukup dengan membayar uang Rp 30.000. Ngeselin, kan? Yang model begituan aja di bisnisin. Coba dari kemaren bilang kalau gak usah bawa dari rumah, kan sepupu gue gak repot-repot malem-malem pergi ke warnet cuma buat bikin itu surat kuasa. Bikes!

Ya udah lah ya kita mah sebagai rakyat jelata yo manut ae. Biar cepet kelar. Setelah diketok palu rupanya cuma dikenakan denda Rp 250.000. Sisanya akan dikembalikan tunai setelah jam istirahat. Nunggu lah dia.

Gue singkat aja, akhirnya dia dapetin uang pengembaliannya setelah proses yang berliku. Makanya gue saranin baca Gara-Gara Uang Seribu ini dulu. Hehe

Setelah dapetin sisa uang dendanya, dia bergegas ke ruangan berikutnya untuk pengambilan STNK. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Pengambilan STNK tidak bisa dilakukan hari ini, silakan kembali esok hari. Njiir.

Rabu, 15 November 2017
Hari ini gue seneng, karena gue pikir hari ini bakalan beres. Kan, tinggal ngambil STNK doang. Lagian kesian juga sama sepupu gue ninggalin anaknya di rumah demi bantuin gue. Hiks. Terharu gue. 
Seperti Biasa juga dia pagi-pagi udah di kantor pengadilan, dari Cilegon, loh. Beres... Beres... Dalam hatinya. Begitu dia masuk ke salah satu sudut ruang pengadilan di mana tempat itu adalah tempat pengambilan STNK, sudah berkumpul puluhan orang. Sudah bertumpuk kertas-kertas slip pengambilan STNK di atas meja. Namun, tak ada satu pun petugas menunjukkan batang hidungnya. Lama menunggu. Matahari mulai menunjukkan keangkuhannya. Panas tjoi udah siang. Puluhan orang masih menanti harap-harap cemas, mereka seperti diabaikan. Tak lama kemudian, petugas nongol, dengan santainya bilang bahwa hari ini cuma ingin membagikan sisa-sisa uang yang belum diambil kemarin, jadi tidak menerima pengambilan STNK. Hemm!! Gue udah boleh mengumpat belum? Sok! Kampret!! Gitu doang? Hahaha Setidaknya ini membuktikan bahwa birokrasi kita emang ribet parah. Bisa ngebeyangin gak, sih, mereka yang datang berhari-hari, itu sudah pasti  mengorbankan banyak hal, entah itu uang, tenaga, atau pun waktu. Mungkin saja, kan, dari puluhan, bahkan ratusan (karena sepupu gue bilang di hari pertama itu kayaknya mencapai angka tiga digit), orang tersebut satu di antaranya ada yang harus rela dimarahi atasan karena ijin gak masuk kerja, ada yang meninggalkan rumah pukul lima pagi dan meninggalkan anak kayak sepupu gue ini, ada yang sementara tidak berjualan, dan sebagainya. Pelik.

Jum'at, 17 November 2017
Untungnya sepupu gue ini sedikit cerdas. Rencananya hari ini dia coba peruntungan lagi dateng ke persidangan, tapi hal tersebut urung dilakukan karena dia sudah coba menghubungi temennya (temen dapet nemu saat di persidangan yang asli orang Rangkasbitung). Dia mengabari bahwa hari itu gak perlu ke sana karena belum ada jadwal pembagian STNK. Oke, baiklah.
Senin, 20 November 2017
Berakhir sudah siksaan ini. Hari ini dia bisa langsung ngambil STNK-nya. Alhamdulillah.

Ilustrasi: Pixabay



Gue berbagi cerita ini bukan untuk menggiring opini kalian bahwa gue adalah aktor protagonisnya di sini yang seolah-olah memberi kesan bahwa gue adalah korban dari kerumitan birokrasi negara kita. Bagaimana pun gue salah. Gue gak punya SIM dan gue melanggar lalulintas walaupun tidak disengaja, sih. Gue salah gak punya SIM, itu aja.




Thursday, November 23, 2017

Tidur di Bandara

Ilustrasi: Pixabay

Lagi kosong di jam pertama, kelas enam lagi belajar mapel Penjas, daripada gue bengong mending gue coba inget-inget pengalaman yang bisa gue tulis di sini.

Kejadiannya setahun lalu, waktu gue bersama  dua orang kawan gue nge-trip ke Malaysia. Harusnya pesawat take off dari Bandara Soekarno-Hatta pukul 19.00 WIB, tapi delay satu jam. Terbanglah kami pukul 20.00 WIB, mendarat pukul 23.00 waktu setempat. Karena kami tidak booking hotel untuk malam itu, jadilah kami terlunta-lunta di bandara negara orang. Mau lanjut bepergian juga gak mungkin, udah malem, kan? Akhirnya kami putuskan untuk tidur di bandara sambil menunggu matahari terbit baru kami cabut.

Bukannya tanpa rencana, sih, saat nyusun itinerary-nya kami sudah sepakat  menghemat pengeluaran booking hotel dan mencari sensasi tidur di bandara a la backpacker gitu.

Kami sempatkan keliling bandara KLIA 2, sambil mencari counter yang jual perdana untuk internetan juga sembari "celingak-celinguk" nyari emperan bandara untuk tidur.

Setelah dua jam berkeliling, handphone sudah terisi kuota, saatnya kami mencari tempat untuk tidur.

Sempat berpindah-pindah tempat, sih, tidurnya. Awalnya tidur di ubin pojokan toko yang udah tutup sambil nge-charge hp, ngampar aja di situ tanpa alas, kecuali kepala yang diganjel pake tas ransel. Lama-kelamaan tidur di ubin dingin juga, mana malem makin larut, akhirnya kami keliling lagi nyari-nyari tempat pewe buat tidur, kali aja nemu sofa, kan?

Gak liat ada sofa nganggur, yang ada cuma barisan kursi-kursi buat nunggu para penumpang. Di beberapa barisan sudah ditempati orang yang sepertinya bermalam juga di bandara. Akhirnya nemu juga tiga barisan kursi kosong di bawah eskalator, pas buat kami bertiga. 

 
Walaupun kursinya tidak nyaman untuk ditiduri, karena bentuknya nggak rata gitu, ada batas berundak setiap kursinya, tapi karena mata sudah ngantuk dan badan sudah lelah, mau tidak mau kami tidur juga di situ. Alhasil ketika bangun jam lima pagi untuk melanjutkan perjalanan (kurang lebih empat jam tidur di kursi tersebut), badan gue khususnya pada sakit dan makin pegel-pegel. Selebihnya sih seru, punya pengalaman yang nanti bisa diceritain ke anak-cucu kalo Emaknya bisa senekat itu -ceileee-

Segitu dulu deh ceritanya, sebentar lagi bel masuk...


Sunday, November 19, 2017

Dijawab oleh Waktu

ilustrasi: pixabay


Minggu pagi, gorden kamar sengaja nggak gue buka agar makin nyaman "leyeh-leyeh" di atas kasur. Seperti hari Mingu sebelum-sebelumnya, hari ini gue tidak berencana pergi ke mana pun. Ada dua buku baru yang belum gue selesaikan membacanya. Tapi sepertinya gue nggak akan menyelesaikan semuanya hari ini. Mungkin gue akan berlama-lama kembali di depan komputer, meneruskan editan di Photoshop untuk header dan favicon blog yang belum "cucok".

Sebelum kegiatan "sok sibuk" itu terlaksana, gue akan membaringkan badan lebih lama, membuka aplikasi YouTube, melihat highlight gol-gol yang tercipta di pertandingan liga-liga di Eropa semalam. Luis Suarez on fire - Paulinho mematahkan praduga pembelian terburuk - Pogba come back - Zlatan sudah duduk manis di bangku cadangan - Alexis mengobati patah hatinya yang tak bisa meloloskan Chile ke Piala Dunia 2018 dengan menaklukkan Hotspurs - Liverpool tak salah membeli Salah - De Bruyne makin moncer di tangan Guardiola - Neymar tak memberi umpan matang kepada Cavani - AC Milan tumbang di tangan Napoli, Munchen menggila sudah biasa - Namun, yang paling menarik perhatian adalah Madrid menelan hasil imbang melawan tim rival sekota, Atletico. Tandemnya di el clasico, Barcelona makin nyaman di pucuk dengan selisih sepuluh poin. Gue merayakannya sendiri dalam hati.

Handphone yang dihuni oleh nomor Telkomsel berbunyi. Tanpa melihat layarnya, gue udah tau siapa yang menelepon dari ujung sana, karena nomor Telkomsel gue hanya tiga orang yang tau; kawan gue satu orang; salah seorang wali murid; dan driver pada aplikasi GoJek. Wali murid menelepon di hari libur begini sepertinya tidak mungkin. Driver GoJek nanyain gue pake baju apa dan berdiri di mana juga nggak mungkin, karena gue masih bersemayam di kamar. Sudah pasti kawan gue. Benar saja!
"Halo," sapa suara dari ujung telepon. Dari suaranya gue tau dia sedang berada dalam posisi yang sama kayak gue, "leyeh-leyeh".
"Waalaikumsalam," balas gue ngasih kode.
"Assalamualaikum," jawab dia peka.
"Walaikumsalam. Lagi di Jakarta, Beb?" terka gue.
"Nggak, Beb, belum tau lagi kapan ada tugas ke Jakarta," jawabnya pesimis.
Selama hampir satu jam kami larut dalam percakapan. Ketawa-ketiwi laiknya tak pernah berjumpa sekian lama. Terakhir ketemu tiga bulan yang lalu. Waktu itu si kawan ada tugas ke Jakarta, maka kami sempatkan bertemu. Dan memang kami cuma dapat bertemu setiap si kawan ada tugas ke Jakarta. Ibarat kata sambil menyelem minum air; sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui. Sambil tugas sambil main. Terakhir ketemu kemarin, kami mainnya kebablasan, awalnya cuma sekitaran Jakarta, taunya melangkah sampe ke Bandar Lampung, dari Serang, naik motor. Gila.

"Gantian kapan main ke sini?" tukasnya memotong pembicaraan.
"Jarang ada tiket promo ke Makassar, jadi kemungkinannya kecil," sanggah gue.
"Hmm.. Susah muka-muka promo," ejeknya.

Perbincangan berlanjut, tawa kami pecah setiap mengingat kembali peristiwa absurd macam begitu. Lewat sambungan telepon kami menumpahkan  rindu. Kejadian-kejadian konyol, segala tingkah bodoh kami, kebersamaan  penuh gelak-tawa, melangkah bebas ke mana pun, akan kah bisa terulang kembali saat kelak kami sudah mempunyai kehidupannya masing-masing?



Thursday, November 16, 2017

Cara 'Ngakalin' Promo di Traveloka

Sekarang ini PT KAI lagi gencar-gencarnya promosiin salah satu moda transportasi darat andalan mereka, ya, apalagi kalau bukan kereta api. Di Twitter sering gue liat hashtag #AyoNaikKeretaApi seliweran di linimasa. Tapi, entah kenapa gue gak pernah tertarik untuk naik kereta api, terutama untuk perjalanan jarak jauh. Gue udah ngebayangin bakalan bete setengah mati berada di dalam kereta berjam-jam. Soalnya pengalaman naik kereta api paling jauh cuma dari Stasiun Serang ke Stasiun Jatinegara, Jakarta.

Sampai suatu ketika si kawan nge-WhatsApp, "Liburan ke Jogja, yuk! Tapi naik kereta aja biar murah!" Jelas lah gue agak gimana gitu dengernya. Tapi si kawan ini coba ngeyakinin kalo naik kereta itu gak sesuram yang gue bayangin. Terus karena gue pikir belum punya rencana ke mana-mana akhirnya gue bilang oke lah. Tapi, dengan satu syarat (gue bilang ke si kawan); "Beli tiketnya talangin dulu," cekikikan dalam hati.

Pergi lah kami ke Jogja bulan Juli kemaren. Dari pengalaman itu, sepertinya gue nagih naik kereta api. Udah tiketnya lebih murah, ternyata bener kata si kawan, gak sesuram yang gue bayangin, ahelah. Brb, gue install aplikasi yang disediakan oleh PT KAI untuk pemesanan tiket online, KAI Access namanya. Uanjirlah! Pas iseng gue liat list harganya bikin ngiler. Tanpa pikir panjang, persiapan untuk liburan sekolah bulan Desember gue coba booking tiket ke Malang, untuk kelas ekonomi harganya cuma Rp 109.000, pun dengan harga tiket kepulangan, sama harganya segitu. Makin semangat, dong, gue untuk melanjutkan proses pemesanannya. 

Udah isi data diri, isi tanggal keberangkatan dan kepulangan, pilih seat segala macem, langkah terakhir adalah proses pembayaran. Udah excited banget tuh gue. Begitu klik "Proses Pembayaran..."
SILAKAN ISI NOMOR KARTU KREDIT ANDA. Anjay! Gue tuh paling sebel kalo beli atau booking sesuatu via online, pembayarannya pake kartu kredit. Ngeselin. Gak jadi booking, lah akhirnya.

Gue pikir zaman now gak ada yang gak mungkin. Pelarian gue ke Traveloka, soalnya udah pernah booking hotel di situ. Alasan awal gue gak langsung nyari di Traveloka tuh karena gue pikir kalo booking dari website KAI-nya langsung akan lebih mudah dan murah. Ternyata bagi kaum tak berkartu kredit macam gue, itu gak berlaku.
Emang, sih, harga Rp 109.000 itu sudah termasuk paling murah, pergi-pulang cuma Rp 218.000. Tapi, ya itu kendala di cara pembayarannya.

Sedangkan di Traveloka, selain pembayarannya lebih fleksibel, bisa melalui transfer ATM atau bayar di minimarket, juga ada promo setiap hari.  Kampret banget gak tuh Traveloka kasih promo tiap hari dan gak banyak cincong.

Akhirnya gue coba pesan di Traveloka dengan jadwal yang sama kayak tadi. Harganya pun sama kereta tujuan Ps. Senen - Malang, Malang - Ps. Senen Rp 218.000. Bedanya, kalau di Traveloka, harga segitu masih bisa dapet potongan Rp 25.000 kalau kita masukin kode promonya! Wuih! Kampret banget gak tuh enaknya.

Singkat cerita, gue saattt-seettt isi biodata diri, masukin kode promonya, tertera jumlah nominal yang harus dibayar Rp 218.000 dikurangi promo Rp 25.000, yang harus dibayar cuma Rp 193.000. Lumayan, kan?

Eits! Tapi gue mengurungkan niat booking-nya. Gue cancel. Loh, kok?
Ya! Gue mau licik sedikit! Hari itu gue pesan tiket kereta untuk keberangkatannya dulu. Jadi gini... jadi gini... Sini gue kasih tips biar harga yang udah murah tadi bisa lebih murah lagi.

Pertama, gue pesan tiket keberangkatannya dulu. Dari harga yang tertera Rp 109.000, masukkan kode promonya, otomatis akan berkurang Rp 25.000. Jadi harga yang dibayarkan cukup Rp 92.000 seperti yang tertera pada screenshoot di bawah.


Baru esok harinya gue pesan lagi tiket pulangnya. Kayak di bawah ini. Kenapa harus keesokan harinya? Karena kode promo berlaku untuk satu pemesanan yang sama dalam satu hari tersebut cuma satu kali. Gpp lah usaha sedikit lebih keras cerdas.


Nah, jadinya harga tiket pergi-pulang Jakarta - Malang cuma Rp 184.000. Ahaaiii ... cerdas bersahaja. Wkwkwk


*fyi
gue booking tiketnya waktu bulan September, saat itu;
- aplikasi KAI belum sefleksibel sekarang yang bisa menerima pembayaran lewat ATM dan minimarket. Sekalipun begitu, kayaknya mending pesan via Traveloka, sih, lumayan promonya;
- untuk promo kereta di Traveloka cuma Rp 25.000, tapi untuk yang sekarang sih gue liat makin gede promonya Rp 30.000. ajib! 


Wednesday, November 15, 2017

Gara - Gara Uang Seribu



Malam ini, melalui sambungan telepon, sepupu gue bercerita tentang kejadian yang baru dia alami siang tadi.
Sebelumnya gue kasih gambaran dulu sekilas situasinya karena masih ada hubungannya dengan gue.
Gue meminta tolong sepupu gue ini untuk mengurusi perkara STNK motor gue yang disita (karena ditilang) di Kantor Pengadilan Rangkasbitung. Urusannya sangat ribet dan berbelit. Tau, lah, ya birokrasi kita kayak gimana. Tapi, gue gak mau bahas panjang-lebar perkara "tilang" ini di sini. Mungkin setelah urusannya selesai, STNK udah di tangan, gue akan bikin tulisannya terpisah. Bikin geregetan pokoknya.

Sepupu gue berdomisili di Cilegon, pagi-pagi dia berangkat ke Stasiun Merak untuk mengejar kereta jurusan Rangkasbitung yang berangkat pukul 05.30 WIB. Dengan membawa bekal sebungkus nasi dan lauk ikan sarden yang sempat dimasaknya pukul empat pagi, berangkat lah ia. Sebuah dompet kecil ia bawa untuk menampung beberapa kartu dan kertas usang seperti; KTP, ATM tak bersaldo, Kartu BPJS, Kartu Mahasiswa jaman mudanya dulu, Kartu Keanggotaan Multi Level Marketing, Kartu Pelajar anaknya yang masih TK, lipatan Surat Kuasa yang melimpahkan ke sepupu gue untuk mengurusi perkara tersebut, sampai selipan kertas kecil catatan nama orang-orang yang ngredit Tupperware pun ada. Dan tak luput beberapa lembar mata uang rupiah yang berjumlah Rp 40.000 ikut berjejal rapi di dompet yang resletingnya harus dibuka-tutup berkali-kali biar tertutup sempurna.

Dari rumahnya, dia naik angkot ke Stasiun Merak, uang pecahan lima ribu rupiah keluar dari dompetnya. Perlu usaha keras untuk menutup resleting dompetnya agar kembali tertutup. Maka dia berinisiatif untuk menaruh sisa uangnya di saku celana.

Langsung membeli tiket kereta seharga Rp 3.000, tak lama kemudian kereta datang tepat waktu. Butuh waktu satu setengah jam perjalanan Stasiun Merak - Rangkasbitung. Tersisa uang sebesar Rp 32.000 yang akan ia gunakan untuk sekadar jajan es cincau capuchino, siomay, atau telor puyuh. Tak lupa tentunya menyisakan untuk ongkos pulang.

Karena berangkat pagi-pagi sekali, ia tak sempat sarapan. Di depan kantor pengadilan, sambil duduk di atas anak tangga, menunggu namanya disebut oleh panitera, kemudian ia membuka bekal nasi dan lauk sardennya. Kertas katalog Tupperware yang jadi pembungkus luar nasi terlihat transparan. Sepertinya minyak yang dikeluarkan dari lauk sarden sudah mulai "jedogan" merayapi kertas katalog edisi bulan Oktober tersebut. Bergegas ia memakannya.

"Anisa!" Terdengar suara dari dalam ruangan memanggil namanya. Kini gilirannya.
"Ibu mewakilkan atas nama orang lain? Kalau iya, silakan tunjukkan KTP dan Surat Kuasa dari orang yang menguasakan," kata si panitera.
"Ini, Pak!" sambil menyodorkan KTP dan Surat Kuasa yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
"Oh, enggak, Bu, cukup KTP, untuk Surat Kuasa sudah kami persiapkan, silakan Ibu membayar uang sebesar Rp 30.000 dan langsung tanda tangan di atas materai," sanggah si panitera.
Anjir! Selembar Surat Kuasa aja pake dibisnisin! Kampret lah! Padahal sepupu gue udah capek-capek bikin Surat Kuasanya dari rumah dan diprint di warnet. Sudah lengkap dengan tanda tangan si pemberi kuasa. Di sana ditolak mentah-mentah dengan alasan "sudah disiapkan dari sini". Kenapa gak bilang dari kemaren kampret? Kan dia udah bolak-balik dua hari ke pengadilan. Kalau dibilang dari awal, dia gak akan capek-capek bikin itu surat malam hari setelah dia balik dari pengadilan di hari yang pertama.
Oke..oke.. Gue gak boleh kebawa emosi dulu. Nanti ada tulisannya terpisah buat numpahin emosi gue tentang birokrasi yang super ribet ini.

Duit dia kan tinggal Rp 32.000, mau gak mau dia serahkan juga Rp 30.000 untuk "beli" Surat Kuasa "yang sudah disiapkan". Ditandatangani oleh sepupu gue sendiri. Jadi, nggak butuh lagi tuh yang namanya harus ada tanda tangan dari pihak si pemberi kuasa.

Belum sampe di situ, duit sepupu gue yang tinggal selembar-lembarnya -dua ribu rupiah- masih harus mengumpulkan fotokopi KTP. Pergi lah dia ke tukang fotokopi, habis seribu rupiah. Jadi, sisa uang dia di kantong bener-bener tinggal seribu rupiah. Dia sempet nelpon ke gue pas gue lagi ngajar di kelas. Berarti itu sebelum Dzuhur. Dia bilang kalo duitnya abis, nyisa seribu. Dia ceritain kalo dari rumah cuma bawa duit Rp 40.000, dia rinci, tuh, untuk; angkot Rp 5.000, kereta Rp 3.000, Surat Kuasa Rp 30.000, fotokopi KTP Rp 1.000. Kan gue sedih, ya, dengernya. Gue tawarin apa mau gue transfer dulu buat jajan di sana atau beli makan. Tapi dia nolak, katanya gak usah soalnya baru makan bekal nasi juga, masih kenyang. Kalo buat ongkos pulang mah gampang soalnya ini lagi sambil nunggu antrian pengembalian uang sisa tilang. Terus gue sepik-sepik nawarin lagi, ya takutnya lu mau beli es atau apa gitu, dan dia nolak untuk kedua kalinya. Bagus lah kata gue dalam hati.

Setelah menyerahkan Surat Kuasa bertanda tangan beserta uangnya, kemudian sepupu gue dan ratusan orang lainnya dipersilakan mengantri di BRI untuk pengambilan sisa uang tilang. Ih, sumpah ribet!

Di Bank BRI lagi-lagi harus ngantri dengan puluhan (atau mungkin ratusan) orang lainnya. Sepupu gue ini, karena mau ngejar jadwal kereta pulang yang jam setengah satu, dia ngerengek ke satpam supaya minta didahulukan karena rumahnya jauh, dan kereta terakhir pukul 14.30, sedangkan antrian masih panjang mengular dari Sabang sampai Merauke. Tapi dia malah dicuekin dan dimarahin sama satpamnya,
"Gak bisa, Bu! Ibu harus tetep ikut ngantri!" kata satpamnya.
"Tapi, Pak, kereta terakhir ..." jawab sepupu gue yang belum kelar.
Berkali-kali sepupu gue membujuk, berkali-kali pula si satpam melengos tak menghiraukan.

Lama tuh dia nunggu belum dipanggil juga. Tak lama adzan Dzuhur berkumandang. Dengan sisa uang seribu rupiah yang nyelip di kantong, dia jalan kaki pergi ke mesjid terdekat.

Selepas solat dan hendak pergi mengantri lagi di bank, dia berpapasan dengan seorang pengemis menengadahkan tangannya. Berdasarkan cerita dari sepupu gue, dia sempet mikir, ini duit yang tinggal seribu-seribunya ini mau dikasihin ke pengemis atau buat beli Teh Sisri aja?
Dikasih lah itu akhirnya si duit seribu ke pengemis tadi. Dia lanjut jalan tanpa memikirkan apa pun.

Pas nyampe di depan gerbang, dilihatnya antrian masih banyak berjejal. Karena menurut informasi, yang terjaring Operasi Zebra mencapai angka ribuan untuk wilayah Rangkasbitung saja. Kalo dipanggil berdasarkan nomor urut, pasti dia akan kebagian sekitar jam tiga lewat. Sudah pasti akan ketinggalan kereta yang jadwal terakhir.

Sambil nyari tempat yang bisa diduduki, karena sudah pasti jarang ada bangku dan ruang kosong di tengah kerumunan massa yang kena tilang tersebut, sepupu gue ini iseng nanya ke satpamnya lagi, "Pak, saya bisa minta tolong didahulukan karena saya ngejar kereta terakhir?" Tak disangka, satpamnya tidak melengos dan bilang, "Yaudah Ibu masuk aja ke dalem temuin Pak Yudi." Lah???
Masuklah dia. Ketemu dengan Pak Yudi dan mengutarakan niatnya. Gak banyak cincong, tak sampai lima menit, dia serahkan slipnya, langsung diserahkan sisa uang tilangnya. Lah??? Sementara orang-orang di luar masih mengantri, dia seorang diberi kemudahan. Dan si Pak Yudi ini menyarankan agar sepupu gue langsung mengambil STNK-nya di pengadilan dengan membawa selembar kertas yang dia kasih. Walaupun pada akhirnya sepupu gue memutuskan untuk mengambilnya esok hari, karena mau bergegas ngejar kereta terakhir.

Selama perjalanan pulang dia gak berpikir apa-apa, pokoknya pengen cepet pulang ketemu anaknya yang pagi tadi sempat nangis karena ditinggal.

Sesampainya di rumah dia dikasih tau mertuanya kalo dagangannya yang biasa dia kreditin banyak yang ngambil dan bayar cash. Biasanya orang-orang ngambil barang di dia, ya, ngutang, kredit, atau tempo. Gak mikir apa-apa dia. Biasa aja. Tapi rupanya dia gelisah sama kejadian yang barusan dan kejadian tadi di pengadilan. Kejadian yang menurut dia gak diduga, diberi kemudahan setelah sebelumnya sempat tak dihiraukan, dan begitu pulang barang dagangannya banyak yang ngambil. Dia sempat berpikir apa karena uang yang dia kasih, yang tinggal seribu-seribunya itu. Padahal memang niatnya memberi tanpa pamrih, tapi Allah kasih kemudahan. Wallahualam.

Gue denger dia cerita begitu di telepon tadi kayak yang... "Oh, iya, Allah tuh kasih kita rejeki dan kemudahan atau apapun itu dengan caraNya sendiri yang gak pernah kita duga."

Ini kejadian yang bikin gue dan sepupu gue itu berpikir kalau ada istilah "di setiap kejadian ambil hikmahnya" itu benar adanya.

Mungkin gue gak bisa menyentuh hati yang baca tulisan ini karena tata bahasa gue yang kacau, mungkin dianggap "ahelah kejadian gitu doang geh lebay", dan sejuta kemungkinan  yang lain. Gaya bahasa gue gak kaya tulisan di broadcast-an WhatsApp yang bisa membuat orang yang baru melek internet menelan mentah-mentah berita hoax menjadi pesan berantai.




Wassalam.

Monday, November 13, 2017

Pantai Timang dan Sebuah Pelukan


Beberapa hari menjelang keberangkatan kami ke Jogja, si kawan nge-WhatsApp catatan itinerary yang dia bikin versi dia. Begitu gue baca satu per satu tujuan yang mau kami kunjungi, "Alamaakk jaahh...," kata gue dalam hati. Kenapa harus ada kunjungan ke pantai segala, sih? Kan gue kurang terlalu suka pantai? Waktu ke Bali aja yang identik dengan wisata pantainya gue enggan ke sana kalo bukan karena nurutin satu orang kawan gue. Lah, ini? Ke Jogja? Ujung-ujungnya ke pantai juga?
Gue harus bikin itinerary tandingan, nih. Gak boleh banyak-banyak tujuan ke pantai. Satu, masih oke, lah. Tapi kalo dicoret semua, itu lebih bagus. Ketawa jahat.

Ternyata sibuk, gak sempat bikin itinerary tandingan. Akhirnya gue ngalah ikut itinerary yang si kawan bikin. Untungnya terjadi negosiasi yang tidak alot di dalam Kereta Bogowonto yang membawa kami menuju Stasiun Lempuyangan, Jogja. Kami berdiskusi dengan kepala dingin -dalam arti sebenarnya- karena suhu udara malam  itu sepertinya sudah mencapai titik terendah.

Tiba juga hari yang (tak) dinanti. Sesuai yang tertera di itinerary, di hari ke-3 berkunjung ke Pantai Timang. Gue udah males-malesan aja bawaannya. Apalagi setelah tau kalau rute ke sana memakan waktu yang tidak sedikit. TIGA JAM. Alamaakk jaahh... Mau nyari apa si kawan ini bersikeras pergi ke pantai? Tapi demi menjaga tali silaturahmi, terpaksa lah pergi juga. 

Ya Allah Ya Robbi ... 
Ternyata cobaannya bukan hanya di lamanya waktu perjalanan, tapi track menuju ke sana juga aduhai membuat jantung tak berhenti berdegup kencang. Jalanannya sepi, sudah begitu berkelok-kelok pula, naik-turun, terkadang sisi kanan-kiri jurang, apalagi setiap melintasi tanjakan kami dibuat menerka-nerka jalan turun di depannya apakah turun-lurus, turun-berkelok, atau turun dengan kemiringan seperti segitiga siku-siku. Bikin sport jantung pokoknya. Tapi bagusnya selama perjalanan gak ada cewek ABG bonceng tiga. 

Lama tak nampak ada keramaian selama perjalanan, sampai akhirnya ada juga tanda-tanda kehidupan. Kami menemukan pom bensin. Mampir lah kami sebentar. Isi bensin? Tidak. Numpang pipis.

Kami melanjutkan perjalanan. Keramaian di pom bensin perlahan hilang. Kembali melalui jalanan sepi nan sejuk. Pepohonan di kanan dan kiri jalan memanjakan mata, namun hati tetap was-was. 

Setelah menempuh dua-setengah jam perjalanan, kami berhenti di pinggir jalan sekedar mengendurkan otot telapak tangan yang tegang menahan gas dan rem depan. Sambil sesekali mengecek sinyal di handphone, walaupun kami tau itu hal yang sia-sia.

"Ayok lanjut jalan! Sebentar lagi sampe!" teriak si kawan memecah keheningan. "Sampe pale lo?" jawab gue dalam hati. Sebetulnya kami sempat kepikiran ini baiknya lanjut perjalanan atau balik lagi aja, pulang. Soalnya agak ragu mau melanjutkan perjalanannya, gak nyampe-nyampe. Dan mikirin ntar gimana pulangnya. Jangan sampe kesorean, khawatir akan gelap karena gak ada lampu jalan dan horror juga, kan.

Demi menjaga tali silaturahmi, kami melanjutkan perjalanan.
Setengah jam kemudian, sampailah kami di sebuah warung pinggir jalan. Di situ tampak beberapa laki-laki berperawakan garang seperti tengah menunggu korbannya datang. Oh, rupanya kumpulan tukang ojek. Rupanya kami betul-betul sudah sampai. Ada papan penunjuk jalan bertuliskan "Pantai Timang" lengkap dengan gambar anak panahnya.

Motor kami disarankan oleh si penjaga warungnya ditaruh saja, sementara untuk menuju lokasinya yang berjarak sekitar 2 kilometer baiknya naik ojek pangkalan. Tarifnya Rp 50.000 pergi-pulang per orang. Dan emang gue sarankan kalau ada yang mau ke sana naik ojek aja, karena track-nya curam, naik-turun, terjal dan berbatu. Pokoknya jauh lebih mengerikan dari yang dibayangin. Serius. Kecuali kalau ada yang mau bikin susah diri sendiri, silakan.

Kami bertiga sudah siap dengan ojeknya masing-masing. Perjalanan dimulai...

Sepuluh meter pertama masih aman.
Memasuki puluh meter berikutnya, petualangan dimulai! 
Saking takutnya, selama perjalanan gue gak berhenti teriak-teriak nyebut Asma Allah karena dipikiran gue udah ngebayangin hal-hal buruk akan terjadi (tapi untungnya nggak), entah itu si leher motornya patah, bannya selip, rantainya putus, atau si mamang ojeknya lepas kendali, remnya blong, dan sebagainya. Beneran jalannya kacau banget. Kayak track ke gunung tapi bebatuan terjal, bukan tanah. Gak kebayang, lah, kalo ada yang ngajak ke sana lagi ogah, gue kapok.

Ada satu kejadian yang gak pernah gue lakuin sebelumnya; gue peluk mamang ojeknya erat-erat. 

Dalam keadaan terombang-ambing di atas motor, gue sempet kepikiran, Ya Allah ini orang bukan mahrom gue, kalo gue peluk udah pasti dosa, kan, ya? Tapi kalo gak dipeluk, demi apa bakalan jumpalit. Jumpalit tuh bahasa Indonesianya apa, ya? 
Itu, loh, kalo kendaraan melintasi gejlugan (halah gejlugan), akan terpental si penumpangnya. Ngerti, kan?  Wkwkwk

Akhirnya beneran gue peluk tuh si mamang ojek. Dalam keadaan mudarat mah gpp, kan, ya? Iya. 

Setelah drama perjalanan yang suram tersebut, sampailah kami di pantai yang dimaksud.
Segala rasa lelah dan ketakutan hilang seketika mendengar deburan ombak yang tak biasa. Ini beneran beda dari beberapa pantai yang pernah gue kunjungi (Pantai Anyer, Pantai Merak, Pantai Anyer, Pantai Merak).


Wow! Gokil! Suara ombaknya dari kejauhan kedengeran keren banget! Begitu meniti beberapa anak tangga, hamparan laut biru dengan batu karang yang ada di tengah mulai terlihat, indah banget. Serius gue menyesal pernah bilang "gue kurang terlalu suka pantai". Gue harus menarik kata-kata itu gara-gara Pantai Timang ini. Gokil! Gokil! Gokil! Terbayar sudah rasa lelahnya melihat bentangan garis horison yang mempertemukan birunya langit dan laut. 

Rasa kagum kami agak sedikit terganggu dengan suara rintihan dari dalam perut alias laper. Deretan warung yang terbuat dari bilik bambu dengan si Mbak pemilik warungnya yang ramah sepertinya mampu mengobati perih ini. 

Isi amunisi dengan semangkuk Indomie rebus pake telor dan cabe rawit, minumnya segelas kopi Good Day Mocachino, duduknya menghadap laut biru. Kaki sambil uncang-uncang mengikuti irama debur ombak. Gile, asik bener gak, tuh?

Mau foto-foto pun disediain spotnya. Mulai dari yang gratisan sampe yang berbayar. Spot yang di bawah ini, bertarif Rp 5.000 per orang sepuasnya.


Sedangkan spot yang ini bertarif (gue lupa, sih, tapi kalo gak salah) Rp 15.000 per orang tapi gue tawar jadi Rp 10.000 per orang.


Nah, kalo spot yang di bawah ini gratis! Tapi, bahaya mengintai. Dan gue kena getahnya. Handycam gue rusak terkena air laut. Gara-garanya waktu gue mau foto di tempat ini, seketika ombak datang tanpa permisi. Buuzzz!! Basah kuyup lah gue. Baju, sepatu, termasuk handycam tak ada yang luput dari hantamannya. Tak apalah, ini kenang-kenangan.

 Jadi, kalo mau foto di spot gratisan ini jangan terlalu mendekat ke bibir karang, ya! Kecuali kalo kalian pengen rasain sensasi foto sambil basa-basahan diguyur ombak.

Alhasil, daripada gue masuk angin pake sepatu basah, terpaksa beli sendal jepit. Kalo baju sih kering di badan :v


Sunday, November 12, 2017

Fitur Baru di Ms. Office 2016 yang Bikin Betah

Salah satu fitur yang paling gue seneng dari Microsoft Office 2016 adalah Screen Recording yang terdapat di Power Point. Ini kece banget sumpah. Jadi kalau mau rekam layar PC tinggal lari aja ke PPt - Insert - Screen Recording. Fitur ini ngebantu banget kalo mau bikin tutorial-tutorial di YouTube yang membutuhkan perekam layar. Simpel dan gak nyusahin. Fitur yang selama ini gue cari. Kemaren-kemaren kalo mau recording mesti download aplikasinya dulu. Ada dua aplikasi yang pernah gue pake, VLC Media Player sama apa, ya, satu lagi gue lupa. Menurut gue ribet harus setting ini-itu sebelum record.

Sejak pasang Ms. Office 2016 ini makin seneng bikin tutorial-tutorial "yang gak seberapa itu" di YouTube. Ditambah udah punya domain di blog, makin seneng juga bikin tulisan begini. Uhuk..

Friday, November 10, 2017

Dipaksa Pascabayar

Nomor gue keblokir lagi untuk ke sekian kalinya.
Kedua kalinya, sih.
Eh! Ketiga kalinya kalo dihitung sama yang waktu hp-nya ilang.
Kok bisa? Ketauan banget jomblonya sampe gak ada yang ngingetin buat isi pulsa.
Hih! Apa, sih? Wkwkwk

Intinya  nomor gue yang satu ini (yang diblokir) bisa dibilang gaconnya dari ketiga nomor yang gue pake. Nomor ini (sekarang) jarang dipake tapi tetap gue pertahankan karena satu alasan; punya nilai historis. Secara nomor itu sudah genap berusia satu dasawarsa. Ya! Gue pake nomor itu sejak tahun 2007. Tak kan terganti. Makanya sekali pun terblokir dan pernah sempat hilang, gue usahain untuk "menghidupkan" kembali nomornya dengan dateng ke XL Center.

Singkat kata, untuk kasus yang terakhir dan masih hangat ini, terblokir karena melewati masa tenggang sudah pasti. Penyebabnya nomor tersebut gue pasang di hp yang (akhir-akhir ini) fungsinya cuma buat bangunin gue tidur (alarm) sama nerima SMS Promo Paha Ayam CFC, jadi jarang gue bawa. Jadilah gue lupa ngisi pulsa untuk nyambung nyawa si nomor.

Di kasus sebelumnya, untuk mengaktifkan kembali nomor yang terblokir hanya diminta menunjukkan KTP dan surat nikah biaya untuk isi pulsa minimum Rp 25.000. Tapi untuk kasus kemaren, gue dateng ke XL Center seperti biasa ditanya alasan kenapa bisa keblokir dan diminta menunjukkan KTP, kemudian diproses oleh customer service-nya. CS-nya bilang kalo mau diaktifkan kembali harus deposit uang sebesar Rp 200.000 dan nomor gue beralih menjadi pascabayar. Wew?

Si Mbak customer service-nya yang tengah mengandung, aura kewanitaannya terpancar dan mulai menjelaskan panjang-lebar kenapa harus deposit dan kenapa harus beralih ke pascabayar. Adem aja sih gue denger penjelasan si Mbaknya itu. Pelayanan swasta better lah ya dibanding kalo kita dateng ke kantor-kantor instansi pemerintah ngurusin KTP, dkk. nya itu asal bae. No salam tempel, urusan dibikin ribet. Katanya pelayan masyarakat tapinya ...

Kembali.
Jadi uang deposit yang sebesar Rp 200.000 tersebut bisa diambil setelah satu tahun. Terhitung sejak tanggal aktivasinya. Dan, setelah setahun itu juga baru si nomor tersebut bisa kembali beralih ke prabayar jika berminat (opsional). Tapi kalau udah nyaman di pascabayar ya lanjut aja. Istilahnya nomor pascabayar kita terikat kontrak selama setahun dengan jaminan uang deposit. Seperti itu.

Terpaksalah akhirnya gue menerima kenyataan nomor gue beralih ke pascabayar. Sempet timbul banyak pertanyaan sih di awal-awal pemakaian. Maksudnya kan gue belum pernah, jadi menerka-nerka ntarnya gimana-ntarnya gimana. Tapi, pas ke sini-sini, not bad lah, ya. Dan barusan keluar tagihan bulan pertama, malah lebih bisa kontrol pemakaian daripada biasanya. Gitu aja, sih. Selebihnya... sama. Termasuk sinyal yang sering banget ngilang :v

Cerita Gue Punya Domain

Gue bukan orang IT, udah lama banget kepengen alamat blog gue itu kerenan dikit, langsung pake .com tanpa ada embel-embel blogspot.com-nya gitu deh. Tapi gue gak ngerti harus diapain biar jadi www.widakiwid.com bukan www.widakiwid.blogspot.com. Hasil dari bertanya ke kakak dan temen dunia maya gue yang blogger sejati -ceile- didapati hasil yang bikin gue gak mudeng. Denger istilah-istilahnya aja asing banget di kuping gue. Beli domain-lah, hosting-lah, SSL-lah, apalah-apalah. Makin dijelasin makin ribet banget dengernya. Lama-kelamaan keinginin punya si www.widakiwid.com terkikis sudah. Udah males duluan nyari taunya. Kalah sebelum berperang. Mulai pasrah dengan keadaan, menerima kenyataan tetep pake www.widakiwid.blogspot.com. Tak apalah.

Dua tahun kemudian ....

Pas lagi ngoprek draft, nyari-nyari tulisan yang terkatung-katung belum sempat di-publish, muncullah seonggok pemberitahuan dari Google menawarkan pembelian domain, dkk. Ya Allah, mendengar kata itu gue seperti diingatkan kembali sama keinginan gue yang dulu. Mungkin ini saatnya. Jreengg... Jreenngg...!!!

Bermodal rasa penasaran, akhirnya gue klik sana-sini si penawaran tadi. Ternyata gampang juga. Mulai sedikit melek apa itu domain, dkk. Gue sempet mikir mau dilanjutin beli apa nggak, nih domain dari Si Mbah Google? Takutnya gue udah beli tapi gak ngerti caranya. Wkwkwk

But the show must go on -halah gak nyambung- gue nekat aja beli karena harganya menurut gue murah, Rp 165.000/ tahun. Sekali pun ntar gue gak ngerti caranya, ya, gak rugi-rugi banget lah duit segitu -elah songong-

Udah semanget banget tuh gue isi form pembeliannya. Udah ngebayangin gue bakal punya www.widakiwid.com -padahal mah biasa aja sih-

Udah beres proses demi proses. Selangkah lagi ... PROSES PEMBAYARAN .. KLIK!
Cuma bisa via Kartu Kredit!
Oke! Bye!

Mimpi yang tadi, hilang sebelum terwujud.
Nelongso tenan gak punya kartu kredit. Mau pinjem punya si kawan tapi tebengan nyicil handphone kemaren aja belom kelar. Masa mau minjem lagi? Cekikikikk
Ya udahlah dikubur lagi aja keinginannya.

Eits... Percuma dong gue minum kopi sehari duakali kalo cepet patah semangat begitu? Usaha, ah! Cari yang jual domain tapi pembayaran transfer via ATM! Apa sih yang gak dipermudah zaman sekarang? Situs penjualan sekelas AirAsia aja yang dulu cuma bisa via kartu kredit, sekarang dipermudah, lebih fleksibel pembayarannya bisa ke Indomaret. Ckckckck

Benar saja! Gak pake lama gue langsung nemu si mamang yang jual. Dan harganya jauh lebih murah, anjay. Cuma Rp 105.000 per tahun. Belinya gak ribet. Sistem pembayaran bisa lewat mana aja. Lewat pintu depan, pintu belakang, atau lewat atap -gak lucu-
Setelah dilakukan pembayaran, proses verifikasi dan aktivasinya secepat kilat. Udah gitu Customer Service-nya always on 24/7. Ramah pula ngasih infonya kalo kita punya kesulitan ekonomi dalam prosesnya. Makanya recommended lah beli di Niaga Hoster 

Jadi, sekarang keinginan gue udah terwujud lah, ya, punya www.widakiwid.com